RAJA AMPAT: DARI SURGA DUNIA MENUJU KUBANGAN TAMBANG KAPITALISME


Oleh: Abu Ghazi
Penulis Lepas

Raja Ampat, gugusan kepulauan eksotis di ujung timur Indonesia, dulunya dielu-elukan sebagai surga dunia. Terumbu karangnya yang menawan, lautnya yang bening, dan hutan tropisnya yang rimbun menjadi magnet wisatawan dari seluruh penjuru bumi. Namun kini, keelokan itu mulai pudar. Alat berat penambang nikel telah meluluhlantakkan tanah-tanahnya. Pohon-pohon ditebang, tanah dibongkar, dan kehidupan alami yang pernah menyatu dengan alam, digusur tanpa belas kasih.

Bukan rahasia lagi bahwa Raja Ampat tak hanya menyimpan keindahan alam, bahkan pada 1 Januari 2016, Presiden Joko Widodo menyambangi daerah ini dan mengunjungi puncak bukit Pianemo. “Sangat indah, surga kecil di tanah Papua,” ucap Jokowi saat itu. (Liputan6, 17/10/2024)

Selain keindahan alam, Raja Ampat juga menyimpan kekayaan mineral berupa nikel. Inilah alasan mengapa kawasan ini dibidik sebagai ladang investasi tambang. Kedatangan Jokowi dan pujiannya pada 2016 tersebut ternyata bukan untuk memperkuat perlindungan lingkungan, melainkan untuk mengesahkan izin tambang bagi lima perusahaan: PT Gag Nikel, PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham. (Merdeka, 09/06/2025)


Kapitalisme, Akar dari Segala Eksploitasi

Lantas, mengapa negara seolah rela mengorbankan kawasan seindah Raja Ampat demi tambang nikel? Jawabannya sederhana namun menyakitkan: Indonesia menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Dalam sistem ini, kekayaan bukan dipandang sebagai amanah yang harus dijaga untuk kepentingan umum, melainkan sebagai komoditas yang bebas diperjualbelikan.

Prinsip kebebasan ekonomi yang menjadi ruh kapitalisme mengedepankan kebebasan pasar tanpa batas. Negara hanya berperan sebagai regulator yang membuka jalan bagi korporasi, termasuk asing, untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari sumber daya alam negeri ini. Tak ada jaminan lingkungan terjaga. Tak ada kepastian masyarakat adat terlindungi. Yang penting hanyalah pemasukan negara dan pundi-pundi rente bagi para elit kekuasaan.

Bencana ekologis, konflik agraria, dan kemiskinan yang mengakar hanyalah ‘biaya sosial’ yang dianggap wajar dalam logika kapitalisme. Penambangan emas oleh Freeport, pengeboran minyak oleh ExxonMobil, hingga ekspansi tambang nikel di Morowali, semuanya menjadi bukti bagaimana kapitalisme bekerja: rakus, serakah, dan tak berperasaan.


Ketimpangan dan Kongkalikong Oligarki

Kapitalisme membuka jalan bagi oligarki untuk berkuasa atas sumber daya publik. Di balik setiap izin usaha tambang, sering kali tersembunyi praktik kotor: lobi politik, suap, dan pertukaran kepentingan. Penguasa, alih-alih menjadi pelindung rakyat dan penjaga bumi, malah berperan sebagai penyedia karpet merah bagi para pemilik modal.

Hasilnya? Kekayaan hanya berputar di kalangan segelintir elite, sementara rakyat di sekitar lokasi tambang hidup dalam keterpinggiran. Air bersih tercemar, lahan pertanian rusak, dan budaya lokal terkikis. Keadilan lingkungan nyaris tak tersisa.

Maka dari itu, persoalan Raja Ampat bukan sekadar kerusakan alam, tetapi juga gambaran nyata dari penjajahan gaya baru, asimetris dan terselubung. Ketika seluruh potensi negeri ini dilelang ke pasar global, rakyat hanya akan menjadi penonton yang perlahan terpinggirkan dari tanah kelahirannya sendiri.


Islam sebagai Solusi Alternatif

Kita tidak bisa berharap banyak dari sistem yang telah terbukti gagal menjaga bumi. Sudah saatnya menoleh kepada sistem alternatif yang memuliakan alam sekaligus menjamin kesejahteraan manusia: Islam. Bukan sekadar agama spiritual, Islam adalah ideologi paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk tata kelola sumber daya alam.

Dalam Islam, kekayaan alam strategis seperti tambang, hutan, dan air termasuk dalam kategori kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘ammah). Rasulullah ﷺ bersabda:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Artinya, nikel dan kekayaan mineral lain tidak boleh dimiliki atau dikelola swasta, apalagi asing. Negara bertugas mengelolanya secara adil dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan publik, subsidi, dan pembangunan yang maslahat.

Islam juga menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi, bukan perusak. Allah ﷻ berfirman:

هُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا
"Dia menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu pemakmurnya." (QS. Hud: 61)

Dengan pemahaman ini, eksploitasi sumber daya alam harus tunduk pada syariat, menjaga keseimbangan ekologis, dan mencegah kerusakan (fasad). Allah ﷻ telah mengingatkan:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ
"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik." (QS. Al-A’raf: 56)


Tata Kelola dan Paradigma Solutif yang Menyeluruh

Sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah tidak hanya berbicara tentang ibadah ritual, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk urusan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Dalam sistem ini, pengelolaan lingkungan tidak didasarkan pada keuntungan ekonomi semata, melainkan pada prinsip keadilan, amanah, dan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi. Berikut adalah prinsip-prinsip mendalam yang menjadi dasar tata kelola lingkungan dalam Khilafah:

  • Kekayaan Alam Adalah Milik Umum yang Dikelola Negara
Dalam Islam, sumber daya alam strategis seperti tambang, hutan, laut, dan energi termasuk dalam kategori milkiyyah 'ammah (kepemilikan umum). Artinya, seluruh rakyat memiliki hak atas manfaatnya, dan negara berperan sebagai pengelola, bukan pemilik. Negara tidak boleh menyerahkan aset-aset ini kepada individu, korporasi, apalagi asing.

Penyerahan konsesi tambang kepada swasta, seperti yang terjadi di Raja Ampat, jelas melanggar prinsip ini. Dalam Khilafah, hal itu tidak akan terjadi karena bertentangan dengan hukum syara’.

  • Negara Sebagai Penanggung Jawab Utama (Ra'in)
Negara dalam sistem Khilafah adalah ra’in, yaitu pihak yang bertanggung jawab mengurusi seluruh urusan rakyat. Dalam konteks lingkungan, negara wajib memastikan bahwa seluruh kebijakan pengelolaan sumber daya dilakukan untuk kepentingan umum, bukan kepentingan pemilik modal.

Negara bertindak sebagai pengelola yang amanah dan bertanggung jawab atas keseimbangan ekosistem. Ia tidak boleh menjadi mitra bisnis bagi korporasi tambang, apalagi tunduk pada kepentingan asing. Setiap keputusan strategis wajib merujuk pada pertimbangan syar’i, bukan hanya pada proyeksi keuntungan jangka pendek.

  • Pembangunan Berbasis Keseimbangan dan Keberlanjutan
Islam menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi yang ditugaskan untuk memakmurkan, bukan merusak. Dalam kerangka ini, pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam harus memperhatikan muwazanah bayna maslahah wa mafsadah (keseimbangan antara kemaslahatan dan kerusakan). Jika satu proyek tambang akan menimbulkan kerusakan lebih besar daripada manfaatnya, maka negara wajib menghentikannya. Ini berbeda dengan sistem kapitalisme yang justru memaksa proyek tetap berjalan meskipun menimbulkan bencana.

  • Hukum Syariah sebagai Instrumen Pengawasan
Setiap proyek atau aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan alam harus melewati uji kelayakan berdasarkan hukum syariah. Dalam sistem Khilafah, ada departemen qadha (peradilan) yang bisa menangani pelanggaran terhadap hak publik dan lingkungan. Selain itu, lembaga Hisbah akan memastikan tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan lingkungan.

Pelaku perusakan lingkungan bisa dijatuhi sanksi ta’zīr, mulai dari teguran, denda, hingga penjara, tergantung tingkat kerusakannya. Hal ini menjadi bentuk preventif dan represif untuk menjaga alam dari eksploitasi liar.

  • Distribusi Manfaat, Bukan Distribusi Kerusakan
Khilafah menyalurkan hasil pengelolaan kekayaan alam ke Baitul Mal (kas negara). Dana ini digunakan untuk pembiayaan pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur, serta subsidi bagi rakyat, terutama kelompok yang tidak mampu.

Berbeda dengan sistem kapitalis yang hasil tambangnya dinikmati segelintir elit, sistem Khilafah memastikan hasilnya kembali ke seluruh umat secara merata. Inilah bentuk keadilan sejati dalam pengelolaan lingkungan dan kekayaan negeri.

  • Kesadaran Ekologis yang Dilandasi Aqidah
Pendidikan lingkungan dalam sistem Islam tidak semata-mata bersifat kognitif atau kampanye, tapi ditanamkan melalui aqidah. Setiap Muslim diajarkan bahwa menjaga bumi adalah bagian dari bentuk ketaatan kepada Allah. Merusak lingkungan berarti melanggar amanah Allah sebagai khalifah fil ardh.

Kesadaran ini tidak lahir dari tekanan hukum atau regulasi, melainkan dari kesadaran batiniah sebagai bagian dari keimanan. Inilah yang menjadikan tata kelola lingkungan dalam Khilafah jauh lebih kuat dan mengakar.


Khilafah adalah Sistem yang Menjaga, Bukan Mengeksploitasi

Sistem Khilafah bukan sekadar mimpi idealis. Ia adalah solusi riil yang bersumber dari wahyu ilahi, bukan produk akal manusia yang penuh kepentingan. Dalam hal tata kelola lingkungan, Khilafah menawarkan paradigma yang utuh: adil bagi manusia, ramah terhadap alam, dan selaras dengan tujuan penciptaan bumi.

Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam institusi Khilafah, eksploitasi seperti yang terjadi di Raja Ampat tidak akan pernah terjadi. Sebaliknya, kekayaan alam akan dijaga sebagai amanah dan dimanfaatkan secara bijak untuk kesejahteraan seluruh rakyat, tanpa mengorbankan keberlangsungan ekosistem.

Raja Ampat butuh lebih dari sekadar seruan pelestarian, ia membutuhkan sistem yang mampu menjaganya secara menyeluruh dan berkelanjutan. Dan itu hanya mungkin terwujud dalam naungan Khilafah Islamiyah.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar