
Oleh: Lathifa Rohmani
Muslimah Peduli Umat
Kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Indonesia disambut hangat oleh pemerintah. Kerja sama bilateral pun digulirkan, mulai dari sektor perdagangan hingga investasi. Di balik kesepakatan ekonomi itu, publik seolah lupa bahwa Prancis merupakan salah satu negara yang konsisten menerapkan kebijakan Islamofobia.
Sejak lama, Prancis dikenal sebagai negara yang bermusuhan dengan Islam. Pelarangan hijab, larangan mengenakan abaya di sekolah, hingga pembiaran penerbitan karikatur yang menghina Nabi Muhammad ď·ş adalah bukti nyata. Sayangnya, pemerintah Indonesia justru menyambut hangat pemimpin negara pengusung Islamofobia tersebut, seolah-olah tak ada persoalan.
Hal ini menunjukkan bagaimana pemerintah abai terhadap kehormatan umat Islam demi mengejar keuntungan materi semata.
Sekularisme dan Kapitalisme Jadikan Untung-Rugi sebagai Tolok Ukur
Mengapa pemerintah Indonesia tetap menyambut hangat negara yang jelas-jelas memusuhi Islam? Ini tak lepas dari sistem yang diterapkan hari ini, yakni sekularisme kapitalisme. Dalam sistem ini, agama dipisahkan dari kehidupan, termasuk dalam urusan hubungan antarnegara.
Standar hubungan diplomatik bukan lagi soal benar atau salah, bukan pula soal membela kehormatan agama. Tolok ukurnya hanya satu: manfaat. Selama ada kepentingan ekonomi, persoalan ideologis diabaikan. Bahkan penghinaan terhadap Islam pun dianggap angin lalu.
Inilah watak asli kapitalisme. Demi keuntungan sesaat, kehormatan umat bisa dijual murah. Bahkan ketika umat Islam di seluruh dunia diperlakukan tidak adil, suara para pemimpin negeri Muslim lebih sering bungkam.
Politik Luar Negeri Islam Berlandaskan Akidah
Berbeda dengan kapitalisme, Islam menempatkan hubungan antarnegara berdasarkan akidah. Islam membagi dunia menjadi dua bagian: Darul Islam (negeri Islam) dan Darul Kufur (negeri kufur). Sikap terhadap negara kufur pun ditentukan oleh bagaimana posisi mereka terhadap Islam.
Jika mereka memusuhi Islam, maka umat diperintahkan untuk bersikap tegas. Tidak ada kompromi dengan negara yang menghina agama Allah dan Rasul-Nya. Hubungan diplomatik bukan sekadar soal untung-rugi, tetapi soal membela kehormatan Islam dan kaum Muslimin.
Dalam sejarah, para khalifah Islam menunjukkan ketegasan terhadap negara-negara yang berani melecehkan Islam. Mereka tidak tinggal diam, apalagi menyambut pemimpin negara tersebut dengan kehormatan. Islam memerintahkan negara untuk menjadi pelindung umat, bukan malah tunduk pada negara kafir demi kepentingan ekonomi sesaat.
Umat Islam membutuhkan negara kuat yang dapat menjadi pelindung sejati, bukan hanya berani berbicara, tetapi juga memiliki kekuatan politik dan militer yang disegani. Negara itu adalah Khilafah Islamiyah, yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, termasuk dalam urusan hubungan internasional.
Khatimah
Sikap tunduk kepada negara pengusung Islamofobia adalah bukti nyata lemahnya keberpihakan penguasa terhadap umat Islam. Selama sistem kapitalisme masih menjadi landasan bernegara, umat Islam akan terus dipermalukan.
Islam hadir dengan solusi menyeluruh, tak hanya memperbaiki ekonomi umat, tetapi juga membangun hubungan internasional yang berlandaskan akidah. Dengan tegaknya Khilafah, umat Islam akan kembali disegani dan kehormatan agama akan terjaga sepenuhnya.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
0 Komentar