GLOBAL MARCH: KRISIS KEPEDULIAN DI TENGAH KENYAMANAN


Oleh: Ilham Muhammad Naufal
Aktivis Mahasiswa

Dunia kembali digugah oleh aksi solidaritas kemanusiaan yang mengguncang hati nurani siapa pun yang melihatnya. Global March to Gaza yang digelar pada pertengahan Juni lalu menjadi sorotan, bukan hanya karena skala internasionalnya, tetapi karena ironi yang menyertainya. Ribuan relawan dari penjuru dunia, termasuk dari negara-negara Barat yang mayoritas non-Muslim, berkumpul untuk aksi damai long march menembus blokade Gaza melalui jalur Rafah, Mesir. Mereka datang dengan tekad dan keberanian, membawa bantuan kemanusiaan, dan menyuarakan untuk memberhentikan genosida dan penjajahan Israel.

Namun yang menjadi tamparan paling keras bagi umat Islam adalah fakta bahwa justru banyak aktivis eropa yang notabene non-muslim mengerahkan segenap jiwa datang ke Palestina. Bukan hanya saat Global March, Kapal Madleen, kapal kemanusiaan yang berisi 12 orang dari negara negara eropa pun dikirim untuk menembus blokade Gaza dan membawa bantuan kemanusiaan. Ada satu kisah menarik saat Global March yaitu seorang perawat dari Eropa (bukan Muslim)  meminta belas kasihan, menangis, menuntut di hadapan tentara Mesir.

Dengan mata sembab dan suara gemetar, perawat tersebut berdiri di hadapan tentara Mesir, memohon agar mereka diizinkan lewat untuk menyampaikan bantuan. "Where is your heart. For the love of life and humanity,please stand with your brothers and sisters" ujarnya penuh luka. Tangisan dan seruannya bukan hanya mengetuk pintu kemanusiaan, tapi juga menampar hati umat Islam yang diam, takut, atau bahkan abai. Lebih menyedihkan lagi, yang menghalangi mereka bukan tentara Israel, melainkan pasukan dari negeri yang mayoritas penduduknya Muslim. Pemandangan itu seolah memperlihatkan betapa umat ini tengah mengalami kelumpuhan nurani dan kegagalan dalam menjadikan Islam sebagai kekuatan penggerak.

Rasulullah ï·º bersabda, "Hampir-hampir bangsa-bangsa akan saling memanggil satu sama lain untuk menyerang kalian, sebagaimana orang-orang yang saling memanggil untuk makan dalam satu nampan." Para sahabat bertanya, "Apakah karena jumlah kita sedikit saat itu?" Beliau menjawab, "Kalian banyak, tetapi seperti buih di lautan. Allah akan mencabut rasa takut dari musuh-musuh kalian terhadap kalian, dan menanamkan dalam hati kalian wahn." Apa itu wahn? Cinta dunia dan takut mati. (HR. Abu Dawud).

Hadis ini seperti menjelaskan dengan tepat kondisi umat Islam saat ini. Kita belajar akidah, paham tentang akhirat, percaya bahwa mati syahid adalah kemuliaan, namun tetap saja takut mati. Takut kehilangan kenyamanan. Takut dibenci. Takut dianggap ekstrem. Sementara itu, aktivis non-Muslim yang tak kenal surga dan pahala, justru tampil di garis perjuangan. Fenomena ini menegaskan bahwa kita mengalami degradasi keimanan dalam bentuk paling parah: tidak berani memperjuangkan kebenaran, bahkan untuk saudara seiman kita sendiri.

Padahal Allah ï·» telah menegaskan: "Dan jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam urusan agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan." (QS. Al-Anfal: 72). Rasulullah ï·º juga mengingatkan: "Barangsiapa yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka ia bukan termasuk golongan mereka." (HR. Thabrani). Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa kepedulian bukan sekadar anjuran, melainkan kewajiban. Bukan perkara opsional, tapi bagian dari keimanan itu sendiri.

Lebih dari sekadar kepedulian personal, Islam memiliki solusi mendasar untuk membebaskan Palestina dan seluruh negeri Muslim yang terjajah. Solusi itu adalah jihad dan khilafah. Dua kata yang hari ini dicitrakan negatif, namun sejatinya merupakan syariat yang ditetapkan oleh Allah ï·» dan Rasul-Nya. Jihad adalah bentuk puncak pengorbanan demi menegakkan kebenaran dan membela yang lemah. Khilafah adalah sistem kepemimpinan global yang menyatukan umat Islam di bawah satu perisai, satu komando, dan satu visi peradaban.

Sebelum pembebasan tanah melalui militer tentu umat islam harus melalui dua tahapan yaitu pembebasan pikiran dan persatuan politik. Pembebasan pikiran dilakukan dengan membuang ketakjuban kita terhadap hegemoni barat dan yakin bahwa Islam dan kaum muslim akan menjadi umat terbaik yang akan memimpin dunia membawa kesejahteraan. Keyakinan itu tentu dibekali dengan mengkaji pemikiran islam. Setelah umat yakin dengan pemikiran islam maka hendaknya kita mempersatukan hati menjadi satu kekuatan yang tak terkalahkan menjelma menjadi kekuatan politik dibawah satu komando khalifah. Barulah jihad itu dapat dilaksanakan dan kekuatan musuh musuh Islam dihancurkan dengan satu kekuatan.

Tanpa khilafah, umat ini akan terus tercerai-berai, tidak memiliki kekuatan politik, dan mudah diinjak oleh musuh-musuhnya. Tanpa jihad, umat ini akan terus disuguhi aksi-aksi simbolik yang menyentuh namun tidak menyelesaikan akar masalah. Aksi seperti Global March adalah ekspresi solidaritas, namun tidak akan menghentikan penjajahan selama tidak ada kekuatan militer yang mengusir Israel secara tuntas dari bumi Palestina.

Sudah saatnya umat Islam bangkit, jangan terlena. Pendidikan akidah yang hanya menyentuh teori harus diubah menjadi pendidikan akidah ideologis yang membentuk keberanian, militansi, dan visi peradaban. Kita tidak boleh puas hanya menjadi penonton atau pengirim donasi. Kita harus menjadi umat yang bergerak, berpikir strategis, dan menuntut tegaknya institusi pelindung umat: khilafah Islamiyah.

Perjuangan tidak boleh berhenti pada simpati. Ia harus diwujudkan dalam langkah nyata menegakkan kembali sistem Islam yang akan memobilisasi seluruh kekuatan umat untuk membebaskan Al-Quds dan menyejahterakan dunia. Dan selama umat Islam belum memiliki khilafah, maka setiap darah dan air mata di Palestina juga menjadi tanggung jawab kita.

Hari ini, perawat non-Muslim dari Eropa telah mengingatkan kita. Ia menangis di depan tentara Mesir demi Gaza. Lalu kita yang shalat, yang mengaji, yang tahu pahala syahid dan nilai ukhuwah, di mana posisi kita?

Posting Komentar

0 Komentar