
Oleh: Ardi Juanda
Praktisi SDM
Kunjungan kenegaraan yang menghasilkan banyak kesepakatan lintas sektor sering kali dipuji sebagai capaian besar diplomasi. Namun, bila diplomasi hanya dinilai dari jumlah nota kesepahaman dan keramahtamahan sambutan, lalu diabaikan arah ideologis dan keberpihakan politik luar negeri yang sejati, maka diplomasi itu justru kehilangan ruhnya. Sebab diplomasi bukan sekadar membangun relasi, melainkan menyuarakan arah dan misi peradaban.
Dalam sistem internasional yang dibangun atas asas sekularisme dan kepentingan materiil, diplomasi tak jarang dipersempit maknanya menjadi aktivitas menjalin kerja sama yang saling menguntungkan secara ekonomi dan teknologi. Hal ini tampak dari capaian-capaian yang dibanggakan dalam kunjungan antarnegara: mulai dari MoU energi hijau, pertahanan, hingga proyek investasi bersama. Semua ini secara kasat mata terlihat produktif dan menjanjikan.
Namun dalam pandangan Islam, hubungan antarnegara tidak boleh hanya berdiri di atas asas manfaat. Hubungan luar negeri harus dijalankan dalam kerangka pemikiran politik yang tegas: bahwa negara adalah wakil umat dalam mengurusi urusannya di tingkat global. Maka, setiap jalinan diplomatik harus diletakkan dalam konteks mempertahankan kedaulatan umat, membela kepentingan Islam, dan mewujudkan kepemimpinan politik yang melampaui sekat-sekat nasionalisme.
Politik luar negeri dalam Islam dibangun di atas asas dakwah dan jihad, bukan pada kepentingan diplomatik yang netral secara nilai. Oleh karena itu, hubungan bilateral ataupun regional yang dibangun tanpa memikirkan kekuatan ideologis umat dan hanya berputar pada isu-isu teknis seperti investasi, perdagangan karbon, atau konektivitas, sesungguhnya belum menyentuh substansi dari politik luar negeri yang hakiki. Ia hanya memperhalus ketergantungan, bukan memimpin perubahan.
Dalam kerangka pemikiran Islam, negara memiliki kewajiban untuk memimpin opini umat terhadap persoalan global, seperti ketidakadilan di Gaza atau konflik di Myanmar. Negara tidak cukup hanya menyerukan gencatan senjata atau stabilitas regional, tetapi harus menunjukkan keberpihakan yang nyata melalui sikap politik yang tegas dan sistemik. Sebab tugas negara bukan menenangkan konflik, melainkan menyelesaikannya dengan arah solusi yang berasal dari hukum yang sempurna.
Begitu pula dalam kerja sama ekonomi dan teknologi. Islam tidak menolak pemanfaatan sumber daya global, tetapi ia meletakkannya dalam batas-batas syariat. Kerja sama lintas batas yang menjadikan negara tunduk pada standar asing, tanpa posisi tawar yang jelas dan kekuatan ideologis yang tegas, akan berujung pada subordinasi, bukan kemandirian. Apalagi bila proyek-proyek besar yang digagas menjadi celah masuknya dominasi asing atas aset strategis negara.
Inilah yang membedakan antara diplomasi yang dipimpin oleh peradaban, dan diplomasi yang hanya mengikuti arus. Tanpa membawa misi Islam dan visi global sebagai rahmat bagi semesta, diplomasi akan kehilangan orientasi, dan hanya berputar pada rutinitas protokoler tahunan. Ia produktif di atas kertas, tapi kosong dalam makna perjuangan.
Maka, diplomasi sejati adalah diplomasi yang memimpin. Ia tidak hanya memperluas jejaring, tapi memperluas pengaruh ideologis. Ia tidak hanya menyusun perjanjian, tapi menyusun arah perubahan. Dan semua itu hanya dapat diwujudkan jika negara dibangun di atas asas yang benar, dengan sistem yang berasal dari wahyu, bukan hasil kompromi kepentingan duniawi.
0 Komentar