ISLAMOFOBIA DIBALAS JAMUAN, DIPLOMASI YANG MENGABAIKAN AQIDAH


Oleh: Sulis Setiawati,S.Pd
Aktivis muslim

Prancis kerap menempati posisi kontroversial dalam hubungan dengan umat Islam, terutama melalui kebijakan-kebijakan domestik yang dinilai merugikan, mendiskreditkan, bahkan menyakiti perasaan kolektif kaum Muslimin. Beberapa contoh kebijakan kontroversial yang menyasar umat Islam di Prancis antara lain adalah pelarangan penggunaan jilbab di institusi pendidikan publik sebagaimana diberitakan oleh Sindonews pada 7 Mei 2025, serta pembiaran terhadap penerbitan kartun yang menghina Nabi Muhammad ﷺ oleh majalah Charlie Hebdo, yang justru dilindungi oleh otoritas negara dengan dalih kebebasan berekspresi.

Dengan berlindung di balik slogan “kebebasan berekspresi,” Prancis kerap membiarkan tindakan-tindakan yang merendahkan Islam dan simbol-simbol sucinya. Puncaknya terjadi pada 28 Oktober 2020, ketika Presiden Emmanuel Macron secara terbuka menyatakan bahwa Islam adalah “agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia” sebuah pernyataan yang bukan hanya melukai perasaan umat Muslim, tetapi juga memperkuat citra Prancis sebagai negara yang semakin menjauh dari prinsip toleransi antaragama. (Al Jazeera, 28/10/2020). Pernyataan dan kebijakan seperti ini menunjukkan permusuhan ideologis terhadap Islam dan pemeluknya.

Namun mirisnya, kunjungan kenegaraan Presiden Emmanuel Macron disambut dengan protokol kehormatan tingkat tinggi di Istana Merdeka, mulai dari penjagaan ketat, gelaran karpet merah, hingga jamuan resmi dari pemerintah Indonesia. Sejatinya, sambutan hangat ini menimbulkan kekecewaan sebagian besar umat Islam, mengingat rekam jejak Prancis sebagai negara yang secara terang-terangan mengusung kebijakan Islamofobia.

Dalam sistem sekuler kapitalisme, hubungan antarnegara hanya didasarkan pada kepentingan ekonomi dan politik praktis, bukan pada prinsip kebenaran dan penjagaan kehormatan agama. Oleh karena itu, wajar jika para pemimpin sekuler mengabaikan fakta bahwa Prancis telah berkali-kali melukai umat Islam secra kolektif.

Padahal, Islam memiliki panduan yang jelas dalam menghadapi negara-negara kafir yang secara aktif memusuhi agama Allah. Allah ﷻ berfirman:

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu...” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama...” (QS. Al-Mumtahanah: 9)

Demikianlah sikap Islam memandang negara kafir yang menyerang Islam atau melecehkan syariat, kaum muslimin wajib bersikap tegas dan berani, tidak tunduk, tidak berkompromi, dan tidak memberi penghormatan yang layak hanya untuk mendapatkan keuntungan duniawi.

Inilah prinsip politik luar negeri dalam Islam yang ditegakkan oleh Daulah Khilafah di masa lalu. Untuk itu, sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa hanya dengan memiliki kekuatan politik global melalui Khilafah, kehormatan umat ini dapat dijaga. Khilafah adalah institusi politik Islam yang satu-satunya memiliki kapasitas untuk menolak dan menghadapi negara-negara kafir penjajah secara resmi dan strategis, bukan diplomasi kompromistis ala kapitalisme.

Posting Komentar

0 Komentar