
Oleh: Teh Mimin Kamila
Muslimah Peduli Umat
Pasukan keamanan haji Arab Saudi menangkap 49 orang, terdiri dari 18 warga lokal dan 31 warga asing, termasuk Warga Negara Indonesia (WNI), karena mengangkut 197 jemaah tanpa izin resmi untuk menunaikan ibadah haji. Menurut laporan Saudi Press Agency (SPA) pada Jumat (6/6/2025), penangkapan dilakukan di sejumlah pintu masuk ke Kota Makkah.
Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi telah mengeluarkan keputusan administratif melalui Komite Musiman Haji terhadap para pelaku transportasi ilegal, kaki tangan mereka, serta jemaah haji tanpa izin.
Langkah tegas ini merupakan bagian dari upaya pemerintah Saudi untuk mengatur dan mengamankan pelaksanaan haji, serta mencegah kepadatan berlebih yang dapat membahayakan keselamatan jutaan jemaah dari seluruh dunia.
Kisruhnya penyelenggaraan haji tahun ini tentu tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab dalam mengurus ibadah. Banyak hal tidak ditangani dengan baik sehingga menimbulkan kekacauan, terutama saat fase Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina). Kebijakan baru pemerintah Saudi pun dituding sebagai penyebab kekacauan ini. Namun sejatinya, persoalan ini berkaitan erat dengan pengelolaan haji di Indonesia. Maka, kesalahannya bukan sekadar teknis, melainkan juga bersifat paradigmatis.
Semua ini berpangkal dari kapitalisasi ibadah haji dan lepasnya tanggung jawab negara terhadapnya.
Islam menetapkan haji sebagai salah satu rukun Islam yang diwajibkan bagi setiap muslim yang mampu. Karena itu, penyelenggaraan ibadah haji seharusnya memberikan kemudahan kepada jemaah, baik dalam beribadah maupun dalam penyediaan fasilitas selama pelaksanaannya, seperti penginapan, tenda dan kebutuhan di Armuzna, layanan transportasi, konsumsi, dan lain sebagainya. Semua ini adalah bagian dari tanggung jawab negara. Dalam Islam, penguasa adalah ra’in yang wajib mengurus seluruh urusan rakyat, termasuk dalam pelaksanaan ibadah haji.
Negara seharusnya menyiapkan mekanisme terbaik, birokrasi yang efisien, dan layanan premium bagi para tamu Allah. Kalaupun pengurusan diserahkan kepada Haramain, hal itu tetap berada di bawah arahan dan pengaturan negara Islam, yakni Khilafah, yang menaungi seluruh wilayah negeri-negeri muslim. Khilafah akan memberikan pelayanan secara paripurna, yang hanya dapat diwujudkan jika sistem keuangan negara kuat. Hal ini dimungkinkan dengan penerapan sistem ekonomi, keuangan, dan moneter Islam, yang menjadikan harta Baitulmal melimpah dari sumber-sumber pendapatan yang besar dan beragam.
Inilah yang akan menjadi dasar pemersatu negeri-negeri muslim dalam satu kepemimpinan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
0 Komentar