
Oleh: Amey Nur Azizah
Penulis Lepas
Ibadah haji merupakan rukun Islam yang hanya dapat dilaksanakan sekali dalam setahun, menjadikannya momen sakral yang sangat dinanti oleh jutaan umat Muslim di seluruh dunia. Bukan sekadar perjalanan fisik menuju Tanah Suci, haji adalah panggilan spiritual yang menjadi puncak kerinduan dan penghambaan kepada Allah ï·». Hal ini juga dirasakan oleh kaum Muslim di Indonesia.
Berbagai upaya dilakukan oleh umat Islam agar bisa berangkat ke Tanah Suci demi menunaikan ibadah haji yang menjadi kewajiban bagi mereka yang mampu. Ketika masa penantian akhirnya berakhir dan kesempatan mengunjungi Baitullah telah tiba, tentu kebahagiaan membuncah dalam dada. Namun, pelaksanaan haji tahun ini terasa berbeda, bahkan menimbulkan kesan banyaknya kekisruhan yang terjadi.
Sebagaimana dilansir Republika.co.id (10/06/2025), Komnas Haji mengungkapkan bahwa calon jemaah haji reguler asal Bandung, Heri Risdyanto bin Warimin, berangkat ke Tanah Suci bersama istri dan kedua orang tuanya. Kegembiraan mereka seketika berubah menjadi duka mendalam. Ketua Komnas Haji, Mustolih Siradj, mengisahkan bahwa tak lama setelah pesawat Saudia Airlines yang ditumpangi Heri mendarat di Bandara Jeddah, ia dinyatakan tidak lolos dalam pemeriksaan, sebuah kabar yang mengguncang keluarga dan rombongan yang sebelumnya penuh harap dan sukacita. Padahal, semua dokumen yang dibutuhkan telah lengkap.
“Apakah Heri masuk daftar hitam pemerintah Arab Saudi? Ternyata tidak,” ujar Mustolih kepada Republika, Senin (2/6/2025). “Catatan perjalanannya bersih. Terakhir ia menunaikan umrah pada 2022. Namun, saat tiba di Bandara Jeddah, status visanya tiba-tiba berubah. Pihak imigrasi menyatakan ‘no visa’, meskipun semua dokumen Heri lengkap, termasuk visa, paspor, ID jemaah, tiket pulang-pergi, dan dana untuk kebutuhan selama di sana. Bahkan, namanya dan keluarganya telah tercatat sebagai penerima fasilitas hotel di Makkah.”
Yang mengejutkan, hanya Heri yang ditolak melanjutkan perjalanan ke hotel, sementara istri dan kedua orang tuanya lolos pemeriksaan tanpa kendala. Mustolih menambahkan, hingga kini belum diketahui siapa pihak yang membatalkan visa Heri, sehingga penyebab pasti penolakannya masih menjadi misteri.
Kenapa bisa terjadi seperti ini? Mengapa nama yang telah terdaftar resmi tiba-tiba dianggap tidak ada? Siapa yang memiliki kewenangan membatalkan visa, dan siapa sebenarnya yang mengendalikan kebijakan tersebut?
Kekisruhan dalam penyelenggaraan haji tahun ini tak dapat dilepaskan dari tanggung jawab negara dalam mengurus ibadah umat. Banyak hal yang tampaknya tidak ditangani dengan baik, sehingga memicu kekacauan. Ada nama-nama jemaah resmi yang tidak bisa masuk meski seluruh dokumen telah lengkap. Di sisi lain, banyak pula jemaah yang berangkat ke Tanah Suci tanpa izin resmi. Ditambah lagi, muncul kasus dalam pelaksanaan ritual haji itu sendiri. Tak sedikit jemaah yang seharusnya sudah menuju Padang Arafah, namun belum juga diantar ke tempat yang semestinya. Padahal, hari Arafah adalah puncak dari seluruh rangkaian ibadah haji.
Mengapa bisa terjadi kekacauan sebesar ini? Bukankah negara tahu bahwa ibadah haji berlangsung setiap tahun? Mengapa semuanya tidak dipersiapkan dengan baik? Dan bukankah pengalaman dari tahun-tahun sebelumnya seharusnya menjadi pelajaran untuk meningkatkan kualitas pelayanan?
Alih-alih mengevaluasi diri, pemerintah justru cenderung menyalahkan kebijakan baru dari otoritas Saudi sebagai penyebab kekacauan ini. Padahal, akar permasalahannya justru berkaitan dengan pengelolaan haji di Indonesia sendiri. Kesalahan yang terjadi bukan hanya teknis, tapi juga paradigmatis. Semua berpangkal dari kapitalisasi ibadah haji dan semakin lepasnya tanggung jawab negara terhadap urusan ini. Kapitalisasi menjadikan pelaksanaan haji sebagai ajang mencari keuntungan.
Hal ini menjadi konsekuensi logis dalam sistem kapitalisme, di mana segala hal, termasuk ibadah, dipersempit maknanya menjadi sekadar aktivitas duniawi untuk meraih keuntungan materi. Padahal, ibadah seperti haji sejatinya ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, meraih nilai spiritual dan ketakwaan. Menjadikannya sarana mencari keuntungan justru menyalahi tujuan utamanya. Melayani rakyat dalam urusan ibadah seharusnya menjadi tugas negara sebagai pengurus umat, bukan malah menjadi ladang bisnis.
Kapitalisasi dalam pengelolaan dana haji menunjukkan bahwa negara makin lepas tangan. Kapitalisme telah mengubah peran negara, dari pelayan rakyat menjadi pihak yang berbisnis dengan rakyat. Maka tidak mengherankan jika biaya haji terus meningkat dari tahun ke tahun. Hampir semua aspek dijadikan lahan keuntungan: tiket pesawat, konsumsi harian, penginapan, tenda di Arafah dan Mina, hingga akomodasi penunjang lainnya selama menjalankan ibadah. Akibatnya, pelaksanaan haji senantiasa dibayangi motif bisnis dan buruknya profesionalisme.
Berbeda halnya dalam sistem Islam. Islam menetapkan haji sebagai salah satu rukun yang wajib dilaksanakan oleh Muslim yang mampu. Oleh karena itu, penyelenggaraan haji semestinya berorientasi pada kemudahan bagi jemaah, baik dalam pelaksanaan rangkaian ibadah maupun dalam pemenuhan fasilitas penunjangnya. Ini mencakup penyediaan akomodasi yang layak, tenda dan logistik di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna), layanan transportasi yang aman dan tertib, serta kebutuhan konsumsi dan lainnya. Semua ini merupakan bagian dari tanggung jawab negara, sebab dalam Islam penguasa adalah ra’in (pengurus umat) yang wajib mengurus seluruh kebutuhan rakyat, termasuk dalam ibadah haji.
Negara berkewajiban menyiapkan mekanisme yang optimal, tata kelola birokrasi yang efisien, dan layanan terbaik bagi para tamu Allah, sebagai wujud penghormatan terhadap ibadah suci mereka. Bahkan jika pengurusan diserahkan kepada otoritas Haramain, hal itu tetap berada dalam naungan dan pengaturan negara Islam (yaitu Khilafah) yang menaungi seluruh negeri-negeri Muslim.
Layanan paripurna seperti itu hanya mungkin terwujud jika negara memiliki sistem keuangan yang kuat. Ini akan tercapai apabila Khilafah menerapkan sistem ekonomi, keuangan, dan moneter Islam secara menyeluruh. Dengan sistem tersebut, harta di Baitulmal akan mengalir deras dari berbagai sumber pemasukan sah dan besar, sehingga negara memiliki kapasitas untuk menjamin kebutuhan rakyat, termasuk dalam pelayanan ibadah haji. Semua itu hanya mungkin terjadi saat seluruh negeri Muslim dipersatukan dalam satu kepemimpinan.
Wallahu a‘lam bissawab.
0 Komentar