
Oleh: Sulis Setiawati, S.Pd
Penulis Lepas
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum: 41).
Dikenal sebagai 'surga bawah laut dunia', wilayah perairan Raja Ampat kini menghadapi ancaman serius dari aktivitas penambangan nikel. Sebagaimana dilansir dalam laman Metronews, bahwa aktivitas penambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, memicu kritik dari masyarakat sipil. Penambangan itu bukan sekadar ancaman ekologis, tapi juga membuka celah pelanggaran hukum, termasuk dugaan tindak pidana korupsi. (Metronews, 7 Juni 2025)
Meningkatnya sorotan publik akhirnya mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengambil langkah tegas dengan memberhentikan sementara seluruh aktivitas tambang di wilayah tersebut.
Seperti banyak diketahui, Raja Ampat bukan sembarang wilayah. Laut dan pulau-pulaunya menjadi rumah bagi 75% spesies karang dunia dan lebih dari 1.300 spesies ikan. Keanekaragaman hayati ini bukan hanya aset nasional, tapi juga harta dunia yang dilindungi secara internasional. Adapun aktifitas tambang dikawasan tersebut jelas melanggar komitmen Indonesia dalam konvensi keanekaragaman Hayati serta Undang-Undang No,32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. UU tersebut melarang keras kegiatan yang menimbulkan kerusakan lingkungan signifikan, apalagi dikawasan konservasi.
Inilah wajah asli dari sitem kapitalisme, ketika kekayaan alam dipandang semata sebagai komoditas ekonomi. Dalam sistem ini, kepentingan korporasi lebih diutamakan dibanding keberlanjutan lingkungan. Lemahnya penegakkan hukum dan mudahkan perizinan adalah bukti nyata bahwa penguasaha bisa lebih berkuasa dari negara. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa ketidakadilan hukum bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan jalan menuju kehancuran suatu peradaban:
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللَّهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ ابْنَةَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu binasa karena bila ada orang terpandang diantara mereka yang mencuri, mereka membiarkannya; dan bila orang lemah yang mencuri, maka mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, andaikata Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.” (HR. Bukhari Muslim).
Dalam perspektif Islam, sumber daya alam seperti air, tambang, dan padang rumput merupakan hak milik bersama yang tidak boleh dimonopoli. Negara berkewajiban mengelola kekayaan alam tersebut demi kemaslahatan seluruh rakyat, bukan untuk keuntungan segelintir pemilik modal. Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa kaum Muslim berserikat dalam tiga hal pokok: air, padang rumput, dan api. Ini menunjukkan bahwa ketiganya bersifat publik dan tidak boleh dimiliki secara eksklusif. Karena itu, negara tidak cukup hanya berperan sebagai regulator, tetapi harus menjadi pelaksana langsung dalam pengelolaan sumber daya alam, dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan, keberlanjutan, dan pelestarian lingkungan.
Islam juga melihat kerusakan lingkungan bukan sekedar krisis ekologis, akan tetapi juga akibat penyimpangan manusia dari aturan Allah. Oleh karena itu, solusinya bukan tambal sulam administratif, melainkan kembali kepada syariat Islam secara menyeluruh. Pemimpin dalam sistem Islam (Khalifah) bertindak sebagai ra’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung), memastikan bahwa pengelolaan SDA tidak hanya menguntungkan rakyat, tetapi juga menjaga amanah Allah terhadap bumi.
Ketika kapitalisme terbukti gagal menjawab krisis ekologis di Raja Ampat (mendorong eksploitasi demi keuntungan segelintir elite) Islam hadir dengan solusi sistemik yang berpihak pada manusia dan kelestarian alam. Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa menjaga lingkungan bukan sekadar tanggung jawab sosial, melainkan bagian dari ketaatan spiritual kepada Sang Pencipta, sebagai bentuk amanah atas bumi yang diwariskan kepada manusia.
0 Komentar