KAPITALISASI AIR DAN KRISIS AIR BERSIH DI INDONESIA


Oleh: Wisnu Dwi Hidayanto
Penggiat Literasi Islam

Air adalah kebutuhan asasi individu yang digunakan untuk makan, minum, mandi, mencuci, buang air (MCK), termasuk thaharah (bersuci) dan sebagainya. Ketersediaan air sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan kualitas hidup manusia. Tidak terpenuhinya kebutuhan asasi tersebut akan membawa mudarat atau keburukan besar bagi keberlangsungan hidup manusia, seperti kelaparan, penyakit, hingga kematian.

Setiap individu berhak mengakses air untuk kebutuhan hidupnya. Bahkan, air bersih seharusnya dapat diakses secara gratis, sebab mulai dari kebutuhan domestik, usaha, pertanian, perkebunan, rumah sakit, perikanan, hingga instansi pemerintah, semuanya pasti membutuhkan air.


Kapitalisasi Air

Keutamaan air mengingatkan kita kembali pada acara World Water Forum (WWF) yang diadakan di Nusa Dua, Bali, tahun lalu. Dalam acara tersebut, ada beberapa hal yang patut diperhatikan:

Pertama, adanya deklarasi menteri, yakni Compendium of Concrete Deliverables and Actions, atau ringkasan hasil-hasil dan tindakan, yang mencakup 113 proyek air dan sanitasi. Nilai total proyek-proyek tersebut mencapai US$9,4 miliar dengan dukungan dari 33 negara dan 53 organisasi internasional sebagai pendukung, donor, serta penerima manfaat air dan sanitasi.

Kedua, kesepakatan pendanaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Regional Karian-Serpong di Banten, dan nota kesepahaman (MoU) mengenai Net-Zero Water Supply Infrastructure Project di Ibu Kota Nusantara (IKN).

Kesepakatan semacam ini sejatinya menguntungkan pihak swasta yang pada akhirnya akan berimbas pada kapitalisasi air di masyarakat. Kita perlu menilik asal-muasal mengapa kapitalisasi air bisa terjadi, yaitu sejak diberlakukannya UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), yang sejatinya merupakan salah satu syarat pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF) dalam rangka mengikuti Structural Adjustment Programs yang dirancang oleh para kapitalis. UU ini disahkan oleh DPR untuk memuluskan program liberalisasi atau swastanisasi pengelolaan sumber daya air di Indonesia.

Padahal, ketika UU ini masih berstatus RUU, banyak kelompok masyarakat dari konsorsium perguruan tinggi dan ormas Islam seperti Muhammadiyah dan lainnya menentang keberadaannya, karena esensinya adalah komersialisasi dan privatisasi pengelolaan air yang seharusnya dikuasai dan dikelola oleh negara.

UU SDA ini juga mengadopsi kebijakan dari Bank Dunia (World Bank), yang dalam salah satu misinya menyebutkan bahwa "Manajemen sumber daya air yang efektif harus memperlakukan air sebagai komoditas ekonomis, dan partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan efisiensi, peningkatan pelayanan, serta percepatan investasi dalam perluasan jasa penyediaan."

Lebih lanjut dinyatakan, "Peningkatan tarif air akan memberikan insentif dan keuntungan berkelanjutan bagi perusahaan agar dapat memperluas infrastruktur yang menjangkau kelompok miskin."

Misi ini kemudian dituangkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA yang terdiri dari 18 bab dan 100 pasal. Di antaranya, Pasal 9 Ayat 1 yang menyebutkan, "Hak guna usaha air boleh diserahkan kepada perorangan atau badan usaha dengan izin dari pemerintah atau pemda." Dan Pasal 11 Ayat 3 yang menyebutkan, "Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya."

Berdasarkan UU tersebut, saat ini banyak sumber mata air dikuasai oleh swasta, termasuk 270 perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Akibatnya, rakyat harus membayar mahal untuk mendapatkan air. Selain itu, berdasarkan berbagai studi tentang neraca air di sejumlah wilayah sungai, rata-rata daerah perkotaan akan mengalami defisit air untuk irigasi, air minum, industri, pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Bahkan kondisi ini telah dirasakan oleh masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Banyak warga mengalami kesulitan mengakses air bersih, sementara perusahaan AMDK seperti Aqua mampu meraup keuntungan miliaran rupiah.


Krisis Air Bersih

Air adalah kebutuhan vital bagi manusia. Krisis air bersih di negeri ini sejatinya bukan disebabkan oleh tidak tersedianya sumber air, karena Indonesia sangat kaya akan sumber daya air. Diduga kuat, penyebab utama sulitnya akses air bersih adalah kesalahan tata kelola yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah.

Pemerintah saat ini secara sadar telah menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Sistem ini membuat negara kehilangan sumber pendanaan dalam pengelolaan air, karena sumber pemasukan besar dari pengelolaan sumber daya alam yang melimpah telah diserahkan kepada pihak asing. Akibatnya, negara mengakui tidak memiliki dana untuk membangun infrastruktur air guna memenuhi ketersediaan air yang merata bagi seluruh rakyatnya. Beberapa hal yang menyebabkan krisis air bersih di negeri ini antara lain:

Pertama, ketersediaan infrastruktur air di Indonesia masih sangat rendah.

Kedua, pengawasan terhadap kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat masih minim.

Ketiga, banyaknya sampah yang tidak diolah dengan baik, sehingga mencemari lingkungan.

Keempat, negara membiarkan kerusakan sumber air terjadi melalui kebijakan ekonomi, seperti pembukaan hutan dan pembangunan tambang mineral oleh pihak swasta yang bersifat eksploitatif.

Kelima, pengelolaan sanitasi pun terkesan setengah hati, dengan anggaran yang minim dan metode pengolahan limbah yang sangat sederhana, sehingga lingkungan masyarakat jauh dari kata bersih dan sehat.

Inilah gambaran negara yang lepas tanggung jawab dari pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya. Tak heran jika negara kemudian menggandeng pihak swasta untuk membangun infrastruktur air. Namun, bila diserahkan kepada swasta, sejatinya masalah tidak terselesaikan.

Pihak swasta sebagai investor menganggap penyediaan air dan sanitasi sebagai ladang bisnis. Mereka tentu ingin meraih keuntungan sebesar-besarnya, sehingga akses air menjadi mahal dan sulit dijangkau oleh rakyat. Hidup rakyat pun semakin terhimpit karena harus membayar berbagai fasilitas yang bersumber dari air.

Oleh karena itu, kesepakatan-kesepakatan dalam forum WWF sejatinya hanya memperkuat kapitalisasi air yang merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme.


Pengelolaan Air dalam Islam

Sumber daya air termasuk dalam kategori fasilitas umum, yaitu kebutuhan pokok masyarakat dan barang milik publik (al-milkiyyah al-‘ammah). Pengelolaannya harus diserahkan kepada negara secara profesional dan bebas dari korupsi. Seluruh hasil pengelolaan tersebut harus dikembalikan untuk kepentingan rakyat.

Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
"Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Karena itu, sumber daya air seperti sungai, danau, dan sebagainya adalah milik umum. Semuanya harus dikelola negara demi kemaslahatan rakyat, baik untuk kebutuhan air minum, industri, maupun pertanian.

Pengelolaan air minum dalam Islam harus memenuhi beberapa ketentuan:

Pertama, mengingat air adalah kepemilikan umum, semua masyarakat berhak memanfaatkannya. Namun, boleh ada kepemilikan pribadi atas air yang berada dalam propertinya, selama tidak terkait dengan sarana umum.

Kedua, jika pemenuhan kebutuhan air secara mandiri berpotensi menimbulkan konflik, maka negara harus mengambil alih pengelolaannya.

Ketiga, untuk kebutuhan air dalam skala komunitas besar yang membutuhkan teknologi dan investasi besar, negara wajib memfasilitasinya.

Keempat, Negara harus berupaya maksimal agar seluruh wilayah dapat mengakses air secara merata.

Kelima, strategi pengelolaan air harus dilandasi dengan kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, dan profesionalitas aparatur.

Atas dasar ini, pengelolaan air harus diserahkan kepada negara. Negara tidak boleh menyerahkannya kepada swasta, karena itu akan menghilangkan kendali atas aset milik umum, baik sebagian maupun keseluruhan, baik jangka pendek maupun panjang.


Penutup

Sungguh, persoalan air di negeri ini hanya akan selesai melalui penerapan sistem Islam secara kaffah dalam institusi Khilafah Islamiyah yang memberikan kesejahteraan bagi bangsa ini dan seluruh umat manusia.

Hal ini akan terwujud bila umat Islam dan para tokoh masyarakat bersatu untuk menegakkan kembali Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Sistem ini telah terbukti selama 13 abad mampu menjamin kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim. Dengan demikian, Islam benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin.

Posting Komentar

0 Komentar