UTANG LUAR NEGERI BUMN MENINGKAT: BEBAN UTANG KIAN MENUMPUK


Oleh: Darul Iaz
Penulis Lepas

Utang luar negeri (ULN) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali mencatatkan kenaikan secara tahunan pada April 2025. Berdasarkan laporan Bank Indonesia yang dikutip Kontan, total ULN BUMN mencapai US$ 43,93 miliar atau sekitar Rp 715,3 triliun dengan asumsi kurs Rp 16.274,95 per dolar AS.

Kenaikan ini tercatat sebesar 0,18% dibandingkan posisi April 2024 yang berada di level US$ 43,85 miliar. Namun secara bulanan, posisi utang luar negeri pada April 2025 justru turun dibandingkan Maret 2025 yang sempat mencapai US$ 44,72 miliar.

Jika ditelusuri berdasarkan sektornya, lonjakan paling signifikan terlihat pada utang luar negeri BUMN sektor perbankan. Nilai utang pada April 2025 tercatat sebesar US$ 7,57 miliar, naik tipis dari US$ 7,54 miliar pada Maret 2025, namun melesat tajam dibandingkan April 2024 yang hanya mencapai US$ 5,74 miliar.

Sementara itu, sektor lembaga keuangan bukan bank (LKBB) mencatatkan posisi yang relatif stagnan. Nilai utangnya tetap berada di kisaran US$ 1,26 miliar pada April 2025, tidak berubah dari bulan sebelumnya. Meski demikian, angkanya sedikit turun jika dibandingkan dengan April 2024 yang mencapai US$ 1,37 miliar.

Menariknya, meskipun masih menjadi kontributor terbesar dalam struktur ULN BUMN, sektor perusahaan non-lembaga keuangan justru menunjukkan tren penurunan. Pada April 2025, utangnya tercatat sebesar US$ 35,10 miliar, turun dibandingkan Maret 2025 yang mencapai US$ 35,92 miliar, serta lebih rendah dari April 2024 yang sebesar US$ 36,74 miliar. (Kontan, 16/06/2025)


Kapitalisme, Utang Negara, dan Ilusi Kemakmuran

Peningkatan utang luar negeri BUMN tidak dapat dilepaskan dari sistem kapitalisme yang mengakar dalam tata kelola ekonomi negara. Kapitalisme menjadikan utang sebagai instrumen utama pembiayaan, baik oleh individu, korporasi, maupun negara. Dalam sistem ini, negara tidak bertindak sebagai pengelola langsung sumber daya strategis, melainkan menyerahkannya kepada swasta atau asing atas nama liberalisasi ekonomi. Akibatnya, potensi pendapatan besar dari sumber daya alam (seperti tambang, energi, dan hutan) tidak masuk ke kas negara, melainkan dikuasai segelintir pemilik modal.

Negara akhirnya mengandalkan sumber pendanaan dari sektor pajak yang justru menekan rakyat kecil dan menengah, sementara defisit anggaran ditutup dengan utang luar negeri. Skema inilah yang memperparah beban fiskal jangka panjang dan mengurangi kedaulatan ekonomi bangsa.

Lebih dari itu, kapitalisme juga menyuburkan budaya pencitraan di tingkat elite pemerintahan. Proyek infrastruktur dan pembangunan properti kerap dimanfaatkan sebagai sarana pencitraan politik, alih-alih difokuskan untuk menjawab kebutuhan riil masyarakat. Rumah dijadikan alat kampanye, bukan kebutuhan yang dijamin. Sementara realisasi pembangunannya sering kali mengandalkan utang luar negeri, sehingga memperdalam krisis struktural ekonomi nasional.

Dalam sistem ini, rumah tidak lagi dianggap sebagai hak dasar, melainkan komoditas investasi. Rakyat dipaksa bertahan di tengah pasar yang dikendalikan oleh mekanisme supply-demand dan permainan spekulasi harga. Ironisnya, negara justru hadir sebagai regulator kepentingan pasar, bukan pelindung hak rakyat.


Islam dan Jaminan Hak Rakyat Tanpa Utang

Islam memandang utang bukan sebagai instrumen utama pembiayaan negara, apalagi dijadikan kebijakan sistemik. Dalam pandangan syariah, utang hanyalah solusi darurat, bukan sumber pendanaan tetap. Sistem Islam mengharamkan praktik riba yang melekat dalam skema utang luar negeri, karena jelas menzalimi pihak yang berutang dan menjerumuskan negara dalam jerat ketergantungan ekonomi.

Sebagai gantinya, Islam mewajibkan negara (dalam sistem Khilafah) untuk mengelola sendiri seluruh potensi kekayaan dan sumber daya alam yang ada. Seluruh tambang besar, minyak, gas, dan hutan termasuk dalam kategori kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) yang tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi, apalagi asing. Negara bertugas mengelola kekayaan ini dan mengalokasikan hasilnya untuk pembiayaan pelayanan publik, pembangunan infrastruktur, serta jaminan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan kepemilikan rumah rakyat.

Selain itu, Islam juga menetapkan pos-pos pemasukan yang sah dan stabil melalui baitul mal (perbendaharaan negara), antara lain: fai’, kharaj, jizyah, zakat, dan pengelolaan kepemilikan umum. Dengan sistem ini, negara tidak membutuhkan pajak dari rakyat kecil atau utang berbunga dari asing untuk menjalankan fungsinya. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Imam (khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Negara dalam sistem Khilafah akan menjamin terpenuhinya angaran pengelolaan negara dan kebutuhan pokok setiap warga, dengan cara yang syar’i dan terhormat, bukan dengan mekanisme pasar bebas yang eksploitatif, sehingga menyebabkan negara terlilit utang.


Kesimpulan

Fenomena naik-turunnya utang luar negeri BUMN hanyalah gejala dari penyakit struktural yang lebih dalam, yakni penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini telah menjadikan utang sebagai pilar pembiayaan, menanggalkan kedaulatan pengelolaan sumber daya, dan menjerumuskan negara ke dalam lingkaran setan utang, pajak, dan ketimpangan.

Islam membawa solusi sistemik, bukan tambal sulam. Dengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh dalam bingkai Khilafah, negara akan mampu membiayai pembangunannya dari sumber-sumber halal dan berkelanjutan, tanpa harus bergantung pada utang luar negeri. Inilah jalan menuju kedaulatan ekonomi dan kesejahteraan hakiki yang diridhai Allah ﷻ.

وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً
Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, baginya penghidupan yang sempit...” (QS. Thaha: 124)

Penerapan syariat Allah secara kaffah akan membuka pintu keberkahan dari langit dan bumi, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-A’raf ayat 96. Maka sudah saatnya umat menyadari, bahwa solusi sejati bukanlah dengan melanjutkan sistem yang rusak, melainkan menggantinya dengan sistem yang diridhai Allah ﷻ.

Wallahualam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar