
Oleh: Abu Ghazi
Penulis Lepas
Dalam kunjungan kenegaraan ke Singapura, Senin, 16 Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmennya untuk membangun satu juta unit rumah susun terjangkau pada tahun pertama masa pemerintahannya. Proyek ini disebut terinspirasi dari keberhasilan kebijakan perumahan di Singapura, yang mampu menyediakan rumah bagi hampir seluruh warganya.
Presiden menyampaikan bahwa proyek ini akan menggandeng investor dari Qatar dan Uni Emirat Arab, dan difokuskan untuk mengatasi krisis backlog perumahan nasional. Lahan-lahan strategis seperti eks Kompleks DPR Kalibata, Kemayoran, dan tanah milik Kementerian Pertahanan akan dimanfaatkan.
Target utama proyek ini adalah generasi milenial dan gen Z yang saat ini kesulitan membeli atau menyewa rumah di Jakarta karena harga properti yang melambung tinggi, memaksa mereka pindah ke daerah penyangga seperti Serang atau Purwakarta. (Metro News, 17/06/2025)
Rumah Makin Tak Terjangkau dalam Sistem Kapitalisme
Di balik ambisi pembangunan sejuta rusun, ada kenyataan pahit yang tak bisa diabaikan: memiliki rumah di era kapitalisme modern kian sulit, khususnya bagi generasi muda. Sistem ekonomi kapitalisme menjadikan rumah bukan sekadar kebutuhan pokok, tapi juga komoditas investasi. Properti dibeli bukan untuk dihuni, melainkan untuk disewakan atau dijual kembali demi keuntungan.
Akibatnya, harga tanah dan rumah terus meroket, tak sebanding dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Proyek perumahan pun sering kali menggandeng investor swasta atau asing, yang tentu berorientasi pada profit. Alhasil, pembangunan rumah “terjangkau” justru tetap sulit diakses oleh masyarakat berpenghasilan rendah karena skema harga, cicilan, dan suku bunga yang tak berpihak pada rakyat.
Kapitalisme juga menempatkan negara sebagai fasilitator kepentingan pasar, bukan pelindung kepentingan rakyat. Negara menyediakan lahan dan insentif, namun kendali utama tetap di tangan swasta. Maka wajar jika backlog perumahan terus membengkak, dan kesenjangan kepemilikan rumah kian melebar.
Negara sebagai Pelayan, Rumah sebagai Hak Rakyat
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang rumah sebagai kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh negara. Dalam pandangan Islam, negara bukan sekadar regulator, tetapi penanggung jawab langsung dalam menjamin kebutuhan papan bagi seluruh rakyatnya.
Imam al-Ghazali menyebut bahwa kebutuhan primer (seperti makan, pakaian, dan tempat tinggal) adalah bagian dari maṣlaḥah ḍarūriyyah yang harus dijaga demi kelangsungan hidup umat. Negara dalam sistem Islam (Khilafah) memiliki peran aktif memastikan setiap warga memiliki tempat tinggal yang layak. Karenanya negara Islam akan:
- Mengelola tanah dan lahan secara adil, tidak menyerahkannya pada spekulan atau korporasi. Tanah yang terbengkalai lebih dari tiga tahun bisa diambil alih negara dan dialokasikan untuk pembangunan perumahan rakyat.
- Menyediakan rumah secara langsung tanpa menjadikan rakyat bergantung pada utang berbunga atau mekanisme kredit ribawi.
- Menggratiskan atau mempermudah kepemilikan rumah, khususnya bagi yang tidak mampu, dengan cara hibah, subsidi penuh, atau sewa dengan biaya sangat murah.
- Melarang privatisasi tanah dan sumber daya strategis, sehingga negara memiliki kontrol penuh untuk kebutuhan publik termasuk perumahan.
Dalam sejarah Islam, Khalifah Umar bin Khattab bahkan pernah membangun kawasan perumahan khusus bagi fakir miskin dan musafir di Madinah, tanpa pungutan biaya, sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap rakyatnya.
Penutup
Program sejuta rumah tentu layak diapresiasi sebagai ikhtiar mengatasi krisis perumahan. Namun, selama pembangunannya tetap berlandaskan sistem kapitalisme yang menjadikan rumah sebagai komoditas, masalah ini akan terus berulang. Islam menawarkan solusi yang jauh lebih mendasar: menjadikan rumah sebagai hak, bukan barang dagangan. Di bawah sistem Islam, negara adalah pelayan rakyat, bukan makelar tanah. Inilah solusi sejati untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan hakiki.
0 Komentar