SENGKETA EMPAT PULAU ANTARA ACEH DAN SUMUT, UNTUK KEPENTINGAN SIAPA?


Oleh: Diaz
Jurnalis

Pada 25 April 2025, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Keputusan Mendagri No. 300.2.2‑2138/2025 yang menetapkan empat pulau (Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek) sebagai bagian dari wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara (Sumut). (Tempo, 15/06/2025)

Langkah ini segera memantik protes dari Pemerintah Aceh, Partai Aceh, hingga tokoh masyarakat. Mereka menilai keputusan tersebut bertentangan dengan semangat Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding atau MoU) Helsinki 2005 yang menjadi dasar perdamaian pascakonflik di Aceh. Pemerintah Aceh menyodorkan bukti historis dan administratif, seperti SK Inspeksi Agraria 1965 dan kesepakatan batas wilayah 1992, sebagai dasar klaim atas pulau-pulau tersebut. (Tempo, 13/06/2025)

Di sisi lain, Kemendagri berargumen bahwa hasil verifikasi spasial sejak 2008 menunjukkan keempat pulau itu lebih dekat secara geografis ke Tapanuli Tengah. Isu ini kian rumit ketika muncul kabar bahwa Putra Mahkota Uni Emirat Arab, Mohamed bin Zayed, pernah menunjukkan minat investasi resort mewah di kawasan pulau kecil sekitar Singkil. Ini memunculkan spekulasi bahwa sengketa wilayah ini lebih dari sekadar soal peta, tetapi juga kepentingan ekonomi besar di baliknya. (Kompas, 16/06/2025)


Ketimpangan dan Eksploitasi Cermin Buram Kapitalisme

Walau keputusan Presiden Prabowo Subianto menyatakan empat pulau sengketa sebagai sah milik Pemerintah Provinsi Aceh didasarkan pada dokumen dan data pendukung. Namun, di balik legalitas administratif itu, tersimpan kenyataan yang ironis: meski status kepemilikannya diperebutkan, kehidupan masyarakat di sekitar pulau-pulau tersebut tetap terpinggirkan. Mereka tidak turut menikmati hasil dari sumber daya yang ada, apalagi merasakan dampak langsung dari klaim pengelolaan yang semestinya membawa kesejahteraan. (Detik, 17/06/2025)

Persoalan ini menunjukkan bahwa perebutan wilayah tak selalu berkaitan dengan nasib rakyat, tetapi lebih sering menjadi ajang pertarungan kepentingan elite, sementara suara warga lokal hanya menjadi gema yang tak pernah sampai ke pusat keputusan. Dari keempat pulau yang disengketakan bukan hanya punya nilai strategis dari sisi geopolitik dan pertahanan, tetapi juga menyimpan potensi sumber daya laut, pariwisata, bahkan dugaan adanya cadangan energi seperti minyak dan gas. (Tempo, 15/06/2025)

Namun, seperti halnya di Raja Ampat, Morowali, atau Weda Bay, kekayaan tersebut belum berhasil mengangkat taraf hidup masyarakat. Di Raja Ampat, misalnya, tingkat kemiskinan mencapai 15,83% pada akhir 2024, jauh melampaui rata-rata nasional. Ironisnya, daerah yang dikenal sebagai “surga bawah laut dunia” justru menyimpan luka sosial akibat ketimpangan pembangunan. (Inilah, 14/06/2025)

Ini bukan kebetulan. Di bawah sistem kapitalisme, kekayaan alam dipandang sebagai komoditas yang layak dijual kepada investor, bukan amanah yang harus dikelola untuk rakyat. Negara lebih sering berperan sebagai fasilitator korporasi, bukan pelindung kepentingan publik. Izin-izin tambang, resort, hingga proyek energi terus bergulir, bahkan ketika lingkungan rusak dan rakyat tetap miskin.

Dengan dalih pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, hukum kerap diabaikan, sejarah ditafsirkan ulang, dan rakyat dipinggirkan. Sengketa wilayah pun bisa menjadi alat untuk membuka pintu bagi modal besar, yang ujung-ujungnya tidak berpihak pada rakyat.


Kelola Kekayaan untuk Rakyat, Bukan Elite

Dalam perspektif Islam, kekayaan alam bukanlah milik individu, korporasi, atau bahkan negara semata. Islam memandangnya sebagai kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘ammah) yang wajib dikelola oleh negara demi kepentingan seluruh rakyat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Daud)

Hadis ini menjelaskan bahwa sumber daya strategis tidak boleh diprivatisasi. Dalam sistem Khilafah Islamiyah, hasil pengelolaan kekayaan alam disalurkan ke Baitul Mal dan digunakan untuk layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, serta pembangunan infrastruktur, bukan untuk memperkaya elite atau sekedar menarik pajak darinya.

Lebih dari itu, Islam mengajarkan prinsip keseimbangan antara manfaat dan potensi kerusakan. Allah ﷻ berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا
Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik...” (QS. Al-A’raf: 56)

Artinya, eksploitasi sumber daya harus memperhatikan dampak ekologis dan sosial. Jika proyek tambang, resort, atau industri merusak lebih banyak daripada manfaatnya, maka wajib dihentikan. Sistem Islam bahkan menyediakan lembaga pengawasan bernama hisbah untuk memastikan bahwa prinsip keadilan dan keberlanjutan benar-benar ditegakkan.

Dengan sistem ini, tak ada lagi ironi daerah kaya tapi warganya miskin. Tak ada lagi sengketa wilayah demi proyek elite yang menyingkirkan hak rakyat. Negara menjadi pelayan umat, bukan pelayan investor.


Saatnya Umat Sadar dan Berpikir Sistemik

Konflik empat pulau di perbatasan Aceh dan Tapanuli bukanlah kasus satu-satunya. Ini hanyalah satu episode dari drama panjang kerusakan sistemik dalam pengelolaan negeri yang tunduk pada logika kapitalisme. Selama kekayaan alam masih dipandang sebagai ladang investasi, selama rakyat tidak menjadi prioritas, maka ketimpangan, sengketa, dan kemiskinan akan terus berulang.

Umat Islam tak boleh terus berada dalam posisi penonton. Saatnya menyadari bahwa problem ini bukan sekadar soal teknis administrasi atau batas peta, tapi menyangkut paradigma pengelolaan yang rusak dari akarnya. Sudah saatnya kita berpaling pada sistem yang terbukti adil, amanah, dan berpihak pada rakyat: sistem Islam di bawah naungan Khilafah.

Wallahu a'lam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar