
Oleh: Wisnu Al Khowaash
Penggiat Literasi Islam
Tahun lalu, publik dikejutkan dengan kasus Ronald Tannur yang menganiaya kekasihnya hingga akibatkan kematian. Perkara ini kemudian berkembang, menyeret ibunda Ronald, Meirizka Widjaja, yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap terhadap hakim yang menangani perkara anaknya. Bagaimana mungkin kasus yang awalnya tampak seperti tindak pidana pembunuhan biasa menjadi pembuka tabir praktik kotor di balik sistem peradilan? Inilah kronologi terbongkarnya dugaan mafia peradilan dalam kasus Ronald Tannur.
Dugaan keterlibatan Meirizka Widjaja bermula ketika ia menghubungi Lisa Rachmat, pengacara sekaligus sahabat lamanya, untuk menjadi kuasa hukum Ronald Tannur. Pada 5 Oktober 2023 Meirizka dan Lisa mulai rutin bertemu untuk membahas kasus Ronald Tannur, lalu Lisa menjelaskan kepada Meirizka mengenai kebutuhan biaya serta langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mengupayakan pembebasan Ronald Tannur.
Lisa kemudian menghubungi bekas pejabat mahkamah agung Zarof Ricar agar dipertemukan dengan pejabat Pengadilan Negeri Surabaya untuk menentukan hakim yang akan menangani perkara Ronald, didalam prosesnya Lisa dan Meirizka juga menyetujui bahwa Meiriska akan membiayai pengurusan perkara.
Selama berlangsungnya proses hukum Meirizka telah menyerahkan uang sebesar satu setengah miliar rupiah kepada Lisa secara bertahap agar putranya Ronald Tannur bisa bebas, tidak lupa Lisa juga menggunakan uangnya untuk pengurusan perkara sebesar dua miliar rupiah, sehingga total dana yang dipakai mencapai tiga setengah miliar rupiah. Menurut keterangan Lisa, uang tersebut diberikan kepada majelis hakim di Pengadilan Negeri Surabaya yang menangani kasus Ronald Tannur.
Pada 23 Oktober 2024, tiga hakim pengadilan negeri Surabaya yaitu Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo yang memvonis bebas Ronald Tannur ditangkap oleh kejaksaan agung, ketiganya adalah hakim dengan golongan kepegawaian yang sudah tinggi, Lisa Rachmat yang merupakan tim pengacara Ronald Tannur turut ditangkap, terakhir kasus ini juga menjebloskan Zarof Ricar mantan pejabat Mahkamah Agung yang diduga menjadi makelar kasus ini.
Kini status hukum Meirizka Widjaja yang sebelumnya sebagai saksi kemudian ditahan dan ditetapkan tersangka oleh kejaksaan agung pada tanggal 4 November 2024, dia dijerat dengan pasal 5 ayat 1 dan pasal 6 ayat 1 huruf A juncto pasal 18 undang undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta pasal 55 ayat 1 KUHP terkait pemberian suap dan gratifikasi kepada aparat penegak hukum (Kompas, 4/11/2024).
Saat ini Meirizka Widjaja masih menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa dalam kasus suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur di pengadilan negeri Tindak pidana korupsi Jakarta (Metro TV, 19 Mei 2025).
Penegakan Hukum dalam Islam
Dibandingkan dengan kasus Meirizka Widjaja, pada zaman Nabi Muhammad ﷺ ada seorang perempuan dari Makzumiyah melakukan pencurian. Kasus ini menjadi perhatian besar kaum Quraisy. Mereka lalu berdiskusi untuk meminta keringanan dari Rasulullah ﷺ agar wanita itu bebas dari jerat hukum. Setelah diskusi yang panjang, mereka sepakat mengutus Usamah bin Zaid, seorang yang sangat dicintai Rasulullah ﷺ. Usamah pun menjalankan tugasnya dan menyampaikan maksud kedatangannya. Mendengar hal itu Rasulullah pun berkata pada Usamah:
أتشفعُ في حدٍّ من حدودِ اللهِ ؟
"Apakah engkau hendak meminta keringanan atas penerapan salah satu hukum Allah?"
Beliau ﷺ lantas berbicara di hadapan masyarakat:
أما بعد . فإنما أهلك الذين مَن قبلكم ، أنهم كانوا إذا سرق فيهم الشريفُ ، تركوه . وإذا سرق فيهم الضعيفُ ، أقاموا عليه الحدَّ . وإني ، والذي نفسي بيدِه ! لو أنَّ فاطمةَ بنتَ محمدٍ سرقت لقطعتُ يدَها
"Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena jika ada yang mencuri Dari kalangan bangsawan/pejabat mereka membiarkannya. Sebaliknya, Ketika ada yang mencuri dari masyarakat kalangan lemah, mereka menetapkan hukum dengan tegas. Demi Allah, andai saja Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya." Begitulah sabda Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhori, Abu Daud dan an-Nasai.
Setidaknya ada dua pelajaran yang bisa diambil hikmahnya dari hadits tersebut, yaitu:
Pertama: Kita perlu waspada, sebab Indonesia sedang berjalan menuju jurang kebinasaan. Di Indonesia, hukum sering kali hanya ditegakkan untuk mereka yang lemah atau tidak berkuasa. Masih ingat kasus nenek Minah, pencuri 3 buah Kakao seharga seribu Lima ratus rupiah kemudian di jatuhi hukuman satu bulan Lima belas hari. Sebaliknya seorang Harvey Moeis yang korupsi 300 triliun hanya mendapat hukuman 6 tahun penjara. Di sini terlihat adanya ketimpangan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Kedua: Rasulullah ﷺ dengan tegas menolak permintaan keringanan hukuman bagi pelaku kejahatan, meskipun orang tersebut berasal dari keluarga terpandang Quraisy. Kalau Hal demikian saja di tentang oleh Rasulullah ﷺ, apalagi makelar kasus alias Markus dalam mafia peradilan di Indonesia.
Ternyata, ada pernyataan dari Tyasno Sudarto, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), yang menyampaikan pandangannya bahwa buruknya penegakan hukum di Indonesia disebabkan oleh kerusakan sistem dan para pemimpinnya. (RMOL, 10/11/2011)
Memang, sistem hukum yang berlaku saat ini tidak mampu menjamin keadilan. Hal ini karena hukum yang diterapkan adalah hasil buatan manusia. Teks-teks hukum bisa direkayasa sesuai kepentingan pihak yang berkuasa atau berkepentingan, terutama mereka yang memiliki uang dan pengaruh.
Oleh sebab itu, demi menyelamatkan Indonesia, perubahan sistem hukum menjadi suatu keharusan. Hukum yang seharusnya diterapkan adalah hukum syariah Islam yang bersumber dari Allah ﷻ, Zat Yang Maha Adil. Hanya syariah Islam yang benar-benar menjamin keadilan dan membawa keberkahan. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَحَدٌّ يُقَامُ فِيْ اْلأَرْضِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُمْطَرُوْا أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا
"Sungguh satu dari hadd (hukum-hukum Allah) yang ditegakkan di muka bumi adalah lebih baik dari diturunkan hujan 40 hari" (HR. an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).
Padahal, kita tahu bahwa dalam Al-Qur'an, hujan digambarkan sebagai simbol rezeki dan keberkahan.
Saat ini, para penegak hukum tidak lagi bisa diandalkan. Mafia peradilan bahkan melibatkan para pejabat tinggi di lembaga penegakan hukum. Banyak pihak yang terlibat, mulai dari polisi, pengacara, jaksa, hingga hakim, tak luput dari jeratan praktik kotor mafia peradilan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَسَّانَ السَّمْتِيُّ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ خَلِيفَةَ عَنْ أَبِي هَاشِمٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ وَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِي النَّارِ فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ قَالَ أَبُو دَاوُد وَهَذَا أَصَحُّ شَيْءٍ فِيهِ يَعْنِي حَدِيثَ ابْنِ بُرَيْدَةَ الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ
"Para hakim itu ada tiga golongan: dua di antaranya di neraka, dan satu di surga. Yang di surga adalah seorang hakim yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan perkara berdasarkan kebenaran tersebut. Yang di neraka adalah seorang hakim yang mengetahui kebenaran namun berlaku zalim dalam keputusannya, dan seorang hakim yang memutuskan perkara bagi manusia dengan kebodohan (tanpa ilmu), maka ia juga di neraka." (HR. al-Baihaqi dan an-Nasa’i).
Karena itu, sudah saatnya sistem hukum yang berlaku saat ini diganti dengan syariah Islam yang hanya bisa ditegakkan oleh seorang khalifah. Inilah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Indonesia dan seluruh umat manusia dari kezaliman dan mafia peradilan.
Wallahu a'lam bish showab

0 Komentar