
Oleh: Setiawan Hidayat, S.Pd.
Praktisi Pendidikan
Pada 21 Maret 2025 lalu, telah dilaksanakan Sidang Kabinet Paripurna. Dalam kesempatan itu, Presiden Prabowo menyampaikan rencana pembangunan 200 Sekolah Rakyat pada tahun 2025, yang dilengkapi dengan asrama untuk masyarakat tidak mampu. Targetnya tidak main-main, yakni 1.000 siswa per sekolah. Harapannya, program ini dapat memutus mata rantai kemiskinan. Sekolah Rakyat ini nantinya akan mencakup jenjang SD, SMP, hingga SMA (kemensos.go.id, 22/03/2025).
Namun, akankah program Sekolah Rakyat ini menjadi solusi tuntas atas permasalahan pendidikan dan ekonomi saat ini? Akankah Indonesia bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan yang kian menggunung?
Sekolah Rakyat, Bukti Kemiskinan Masyarakat
Jika dicermati, kondisi sekolah saat ini, terutama yang berstatus negeri, jumlahnya sangat terbatas sehingga tidak mampu menampung seluruh anak usia sekolah (overload). Selain itu, fasilitas di sebagian besar sekolah negeri masih jauh dari kata layak. Banyak sekolah berjalan dengan fasilitas seadanya, sehingga berdampak pada kualitas proses pembelajaran dan lulusannya.
Beberapa sekolah memang dapat diakses secara “gratis”, memungkinkan masyarakat dari kalangan tidak mampu untuk turut menikmatinya. Namun, pada praktiknya tetap ada biaya-biaya yang harus ditanggung orang tua, seperti buku, alat tulis, seragam, sepatu, dan lain-lain.
Langkah pemerintah untuk membangun Sekolah Rakyat tentu akan menambah jumlah sekolah milik negara, itu pun jika Sekolah Rakyat tersebut berstatus “negeri”. Jika demikian, mengapa namanya tidak seperti sekolah negeri pada umumnya?
Memang benar, Sekolah Rakyat memiliki konsep berbeda karena terintegrasi dengan asrama guna menunjang kegiatan belajar. Selain itu, Sekolah Rakyat berada di bawah tanggung jawab Kementerian Sosial RI, berbeda dengan sekolah negeri yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI.
Konsep asrama seperti ini tentu menjadi beban tersendiri bagi APBN, karena harus menanggung semua biaya hidup siswa. Di satu sisi, keluarga tidak mampu akan terbantu. Namun, di sisi lain, pos pengeluaran APBN berpotensi membengkak, apalagi jika pembangunan Sekolah Rakyat dilakukan secara besar-besaran. Ini tentu memerlukan anggaran yang sangat besar.
Apakah APBN akan mampu membiayainya secara berkelanjutan? Bukankah saat ini sedang terjadi efisiensi anggaran di berbagai sektor, termasuk pendidikan dan sosial, yang digadang-gadang akan dialihkan untuk program Daya Anagata Nusantara (Danantara)?
Sekolah Rakyat, Cermin Ketimpangan
Kehadiran Sekolah Rakyat justru menjadi indikator ketimpangan pendidikan di negeri ini, sekaligus cermin meningkatnya angka kemiskinan. Data Bank Dunia (10 April 2025) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2024 mencapai 60,3 persen atau sekitar 171,8 juta jiwa. Artinya, mayoritas penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan.
Akibatnya, banyak anak usia sekolah tidak bisa mengenyam pendidikan karena keterbatasan ekonomi keluarga. Tingkat kemiskinan setinggi ini tidak mungkin disebabkan oleh kesalahan individu. Jika hanya persoalan personal, tentu angkanya tidak akan sebesar itu. Ini merupakan kemiskinan sistemik—akibat dari sistem ekonomi yang gagal mendistribusikan kekayaan secara merata.
Padahal, Indonesia kaya akan sumber daya, baik di atas maupun di bawah permukaan bumi. Jika kekayaan itu dimanfaatkan dan didistribusikan secara adil, setiap warga negara semestinya dapat hidup sejahtera, termasuk menikmati pendidikan yang layak.
Sekolah Rakyat Bukan Solusi
Masalah ekonomi Indonesia yang kian memburuk dengan tingkat kemiskinan tinggi tidak akan terselesaikan hanya dengan kehadiran Sekolah Rakyat. Apalagi, jenjang pendidikan yang ditawarkan hanya sampai tingkat SMA.
Saat ini saja, banyak lulusan S1 bahkan S2 kesulitan mencari pekerjaan, apalagi lulusan SMA. Fakta di Job Fair Bekasi pekan lalu mempertegas hal itu. Sebanyak 25.000 pelamar membanjiri lokasi untuk memperebutkan hanya 2.000 lowongan. Ketimpangan ini sangat mencolok.
Lantas, apakah setelah lulus dari Sekolah Rakyat, masyarakat bisa langsung keluar dari jerat kemiskinan?
Pembangunan Sekolah Rakyat tidak akan menyelesaikan akar persoalan karena masalah Indonesia tidak hanya di bidang pendidikan, tapi juga merambah aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, kesehatan, hingga keamanan.
Kemiskinan dan kebodohan yang sistemik ini muncul akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme dan sistem pendidikan sekuler yang terus dipaksakan kepada rakyat.
Indonesia menghadapi masalah sistemik yang tak bisa diperbaiki secara parsial, tetapi harus ditangani secara menyeluruh. Lalu, apa solusinya?
Solusi Islam untuk Pendidikan Indonesia
Islam sebagai way of life hadir menjawab berbagai tantangan zaman, termasuk pendidikan dan ekonomi. Dalam Islam, pendidikan adalah hak setiap warga, tanpa memandang status ekonomi. Pendidikan bukan sekadar formalitas, melainkan harus berkualitas dan membangun peradaban.
Negara dalam sistem Islam akan menjamin terselenggaranya pendidikan yang adil dan merata hingga pelosok negeri, dengan kualitas fasilitas dan tenaga pengajar yang setara di setiap daerah.
Fasilitas sekolah juga disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan anak. Sarana olahraga, laboratorium, dan pendukung lainnya akan tersedia secara lengkap. Negara (dalam hal ini, Khilafah) bertanggung jawab memenuhi seluruh kebutuhan pendidikan rakyat, karena dalam Islam, belajar adalah proses sepanjang hayat (long life education).
Pendidikan merupakan hak dasar yang wajib dipenuhi oleh negara. Karenanya, masyarakat berhak mengakses pendidikan secara gratis. Negara juga berkewajiban menjamin aspek kesehatan, keamanan, serta kebutuhan pokok lainnya seperti pangan, sandang, dan papan.
Dalam sistem Islam, kekayaan alam seperti minyak, gas, laut, dan hutan akan dikelola negara secara syar’i. Sumber pendanaan negara juga berasal dari jizyah, ghanimah, zakat, dan lainnya. Semua dikelola dengan sistem ekonomi Islam untuk membangun pendidikan berkualitas, merata, dan berkeadilan.
Lulusan kejuruan akan diberdayakan menjadi tenaga kerja profesional sesuai keahliannya di perusahaan-perusahaan milik negara. Sementara bagi yang ingin melanjutkan studi, negara menyediakan universitas kelas dunia sebagai pusat pengembangan tsaqafah Islam, sains, dan teknologi.
Negara akan menanggung penuh dana riset untuk kemajuan umat. Inilah yang pernah terjadi pada masa Khilafah Abbasiyah, di mana ilmu pengetahuan berkembang pesat hingga harum namanya di seluruh penjuru dunia.
Kembali kepada Islam
Sejatinya, Sekolah Rakyat hanyalah janji manis yang meredakan rasa sakit tanpa benar-benar menyembuhkan persoalan masyarakat. Kehadirannya sekadar membuat masyarakat tersenyum sesaat, agar penguasa tampak peduli pada rakyat.
Selama sistem pendidikan masih berasaskan sekularisme dan sistem ekonomi tetap berbasis kapitalisme ribawi, maka masa depan masyarakat Indonesia masih akan dibayangi kemiskinan dan kebodohan.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali kembali pada aturan Islam yang agung dan mulia. Sejarah telah membuktikan bahwa selama ratusan tahun Islam memimpin dunia, tak pernah ada catatan statistik kemiskinan dan kebodohan sistemik.
Yang ada justru sebaliknya—jejak keagungan Islam, terutama dalam bidang pendidikan, tercatat dan diakui dunia.
Wallahu a'lam.

0 Komentar