
Oleh: Ahmad Aqil Almutashim
Mahasiswa
Belakangan ini, isu kesehatan mental semakin sering muncul baik di media sosial, berita, maupun iklan peringatan. Terutama di kalangan anak muda usia 18 hingga 25 tahun. Usia yang seharusnya jadi masa paling menyenangkan: lulus SMA, masuk kuliah, mulai kerja, atau hidup mandiri. Namun faktanya, banyak di antara kita justru merasa letih, hampa, dan kehilangan tujuan.
Data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menyebutkan bahwa angka depresi tertinggi justru terjadi pada kelompok usia muda, yakni 15–24 tahun, dengan prevalensi 2%. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah gambaran nyata tentang betapa banyaknya anak muda yang diam-diam sedang berjuang di dalam dirinya sendiri. Bahkan berdasarkan data Riskesdas 2018, satu dari sepuluh anak muda mengalami gangguan mental dan emosional.
Tapi kenapa ini bisa terjadi? Apa yang membuat generasi muda hari yang katanya hidup di era modern dan penuh kemudahan ini justru lebih rentan secara mental dibanding generasi orang tua kita dulu?
- Tekanan yang Tak Terlihat Tapi Terasa
Kalau kita tanya generasi sebelumnya, seperti Gen X atau Boomer, hidup mereka saat muda juga tidak mudah. Tetapi mereka hidup di zaman yang lebih ‘kalem’ dan tidak ada media sosial yang menuntut untuk selalu terlihat sempurna. Tidak ada budaya compare yourself yang sekuat sekarang. Kita hidup di zaman di mana validasi dari orang asing terasa seperti kebutuhan harian.
- Akses lebih mudah, tapi masalah lebih rumit
Sekarang kita bisa akses psikolog lewat aplikasi. Kita bisa baca ribuan artikel tentang kesehatan mental. Tapi pengetahuan itu kadang tidak cukup untuk membuat kita pulih. Bahkan, kadang pengetahuan itu justru bikin kita makin panik. Kita jadi self-diagnosis dan berakhir overthinking dan membuat kita semakin stress. Sementara generasi dulu mungkin tidak tahu istilah-istilah itu, jadi mereka tidak terlalu dikejar ekspektasi dan citra.
- Kesepian di tengah koneksi
Kita bisa berinteraksi seharian penuh. Tapi, berapa dari kita yang benar-benar merasa didengar? Kita punya ratusan followers, tapi tidak tahu harus cerita ke siapa saat kita sedang lelah. Generasi sebelumnya mungkin tidak secanggih kita dalam hal digital, tetapi mereka memiliki kebiasaan berbincang hangat bersama keluarga di ruang tamu setiap malam, sesuatu yang kini mulai langka.
- Tekanan dari keluarga dan masyarakat
Sebagian dari kita pergi jauh dari rumah untuk berkuliah atau berkerja. Kita harus mandiri, kuat, dan pintar jaga diri. Namun kadang kala, ketika ingin pulang dan mengadu, rumah terasa begitu jauh. Baik secara fisik maupun emosional. Orang tua kita punya harapan besar, masyarakat punya standar tinggi. Sering kali kita merasa belum cukup baik, meskipun telah berusaha sekuat tenaga.
Setelah pembahasan di atas, yang harus kita lakukan bukanlah menyalahkan generasi ini atau itu. Tapi mulai dari hal yang paling dekat. Ciptakan lingkungan yang lebih ramah secara emosional. Keluarga yang lebih terbuka. Sekolah dan kampus yang tidak hanya menilai nilai, tapi juga perasaan. Teman-teman yang saling menguatkan, bukan menjatuhkan diam-diam lewat komentar sarkas.
Edukasi soal kesehatan mental harus menyentuh hati, bukan cuma otak. Harus masuk ke ruang-ruang kelas, organisasi, bahkan masjid dan gereja. Karena semua orang punya peran dalam membentuk jiwa yang kuat.
Allah ﷻ menjelaskan tentang ujian setiap generasi yang dihadapi pasti bisa di hadapi dengan sabar dan taqwa, karena setiap ujian yang diberikan Allah ﷻ tidak akan lebih besar dari kesanggupan orang tersebut. Dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 286, Allah berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”
Allah juga memerintahkan kita untuk saling menjaga dan tidak menzalimi. Seperti pada firmannya di surat Al-Hujurat ayat 11:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ
“Wahai orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain…”
Dan Rasulullah ﷺ juga bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يَخْذُلُهُ
“Seorang muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya (dalam sekulitan).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi, mari kita jaga individu satu sama lain. Bukan dengan menghakimi, tapi dengan memahami. Dengan pendekatan empatik, pengawasan yang bijak, dan pendidikan yang menyentuh hati, kita bisa menumbuhkan generasi remaja yang tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga kuat secara mental dan emosional.

0 Komentar