TAMBANG SUWAWA: KETIKA RAKYAT TAK LAGI TAHU KEMANA MEMINTA KEADILAN


Penulis: Yusuf Datau
Penulis Lepas

Ratusan penambang rakyat di Suwawa, Bone Bolango, kembali turun ke jalan. Ini bukan kali pertama mereka menyuarakan kegelisahan. Sudah berkali-kali mereka melakukan unjuk rasa, namun suara mereka seperti diterpa angin lalu. Setiap teriakan, setiap langkah kaki yang menyusuri aspal, selalu membawa harapan akan keadilan yang tak kunjung datang. Pada Selasa, 3 Juni 2025, aksi kembali digelar—bukan sebagai bentuk perlawanan tanpa arah, tetapi sebagai wujud dari kepedihan rakyat yang merasa tak dilibatkan dalam urusan hidup mereka sendiri.

Dewa Diko, Jenderal Lapangan aksi, menyampaikan kekecewaannya atas langkah DPRD Provinsi Gorontalo yang menggelar audiensi bersama PT. Gorontalo Mineral (GM) tanpa menghadirkan perwakilan dari rakyat penambang. Ini bukan sekadar pelanggaran etika demokrasi, tetapi pengingkaran terhadap prinsip keterbukaan dalam menyelesaikan persoalan bersama. Ketika rakyat yang menggantungkan hidup pada tanah sendiri justru tidak diajak bicara, maka wajar jika muncul kecurigaan bahwa ada permainan di balik meja antara wakil rakyat dan pihak perusahaan.

Kekecewaan itu semakin dalam ketika masyarakat penambang mendapati spanduk terbentang bertuliskan pengosongan paksa lokasi tambang di titik bor 1, 3, dan 9. Imbauan dari pihak perusahaan datang tiba-tiba, tanpa sosialisasi, tanpa penjelasan. Tidak ada ruang bagi rakyat untuk memahami, apalagi untuk menyampaikan pendapat. Seolah-olah tanah itu tak lagi milik mereka yang selama ini menjaga dan mengolahnya hanya dengan satu sebutan ‘ilegal’, sementara korporasi raksasa dengan modal rupiah bisa menyulap semua aturan sehingga bisa merebut semuanya dengan satu kata ‘legal’. Siapa dan untuk siapa penguasa dan wakil rakyat ini bekerja? Siapa yang menggaji mereka dan siapa yang mereka layani?

Tak berhenti di jalanan, pada hari yang sama massa bergerak lebih jauh. Mereka mendatangi Kantor Bupati Bone Bolango, Kantor DPRD Provinsi, hingga Kantor Gubernur Gorontalo. Dengan kepala tegak, mereka membawa selembar dokumen berisi tuntutan—permintaan legalitas untuk bekerja, perlindungan atas hak hidup, dan jaminan bahwa pengelolaan kekayaan alam tidak mengorbankan mereka. Mereka meminta para pejabat memberikan tanda tangan sebagai simbol komitmen, sebagai janji bahwa suara rakyat bukanlah suara yang bisa diredam begitu saja.

Yang lebih menyayat hati, aktivitas pertambangan rakyat di Suwawa bukan hanya menyangkut para penambang yang menggali di kedalaman tanah. Di sekeliling area itu, kehidupan lain turut berdenyut. Ratusan tukang ojek setiap harinya hilir mudik mengangkut penambang dan peralatan kerja. Ratusan tukang pikul memanggul karung demi karung hasil tambang dari lokasi terpencil ke tempat penampungan. Ratusan pedagang kecil menggantungkan rezekinya dengan menjajakan makanan, air, pakaian kerja, hingga rokok dan perlengkapan sehari-hari lainnya.

Para ibu membuka warung tenda di sela-sela jalur tambang, sementara para pemuda menjual air mineral dan aneka dagangan lainnya di jalanan yang dilalui penambang. Semua itu adalah denyut ekonomi rakyat kecil. Jika aktivitas mereka dimatikan oleh kebijakan yang memihak pada kepentingan perusahaan besar, ke mana mereka akan mencari penghidupan? Ketika tanah yang dijaga dengan keringat, namun hasilnya diklaim oleh kapitalis berkedok legalitas, lalu kepada siapa mereka akan mengadu?

Pemerhati lingkungan pun angkat suara. Mereka menegaskan bahwa eksploitasi besar-besaran oleh PT. Gorontalo Mineral di areal tambang Suwawa berpotensi merusak Sungai Bone—sumber air utama masyarakat Bone Bolango dan Kota Gorontalo. Jika sungai ini tercemar atau rusak, bencana ekologis bukanlah kemungkinan, melainkan kepastian. Lalu, apakah ini warisan yang layak kita tinggalkan untuk generasi setelah kita?

Islam memandang kekayaan alam sebagai amanah yang besar. Dalam prinsip syariah, tambang, air, dan hutan adalah bagian dari milik umum (milkiyyah ‘ammah), yang tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi untuk keuntungan pribadi. Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud). Artinya, sumber daya alam harus dikelola oleh negara secara adil untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir orang dan menyisakan penderitaan bagi mayoritas.

Sistem Islam bukan hanya memiliki panduan prinsipil, tetapi juga rekam jejak sejarah yang nyata. Salah satu contohnya adalah ketika Rasulullah ﷺ mengatur kepemilikan tambang garam. Dalam sebuah riwayat, seorang sahabat meminta kepada Rasulullah agar diberikan hak atas sebuah tambang garam. Rasulullah ﷺ awalnya mengizinkan, namun setelah mengetahui bahwa tambang tersebut adalah sumber yang tidak akan pernah habis (mengalir terus menerus), beliau segera mencabut izin itu dan bersabda: “Tidak boleh dimiliki secara pribadi apa yang menjadi milik bersama kaum Muslimin.” (HR. Abu Ubaid dan Baihaqi, sanad hasan)

Begitu pula pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra., ketika ditemui tambang besar, beliau tidak memberikannya kepada individu atau kelompok tertentu, melainkan mengelolanya di bawah otoritas negara dan hasilnya disalurkan untuk kepentingan umum, seperti pembiayaan fakir miskin, tentara, dan pelayanan publik lainnya. Ini menunjukkan bahwa Islam memisahkan antara kepemilikan pribadi dan kepemilikan umum, dan memastikan bahwa sumber daya besar yang menjadi hajat hidup orang banyak dikelola negara demi kemaslahatan seluruh rakyat, bukan untuk memperkaya korporasi atau elit tertentu.

Penambang rakyat bukan musuh pembangunan. Mereka bukan penghalang investasi. Mereka hanyalah warga negara yang ingin hidup wajar di tanah sendiri, dengan harapan sederhana: bisa makan dari kerja kerasnya, bisa menyekolahkan anak-anaknya, dan bisa menjaga alam yang diwariskan oleh leluhur. Bila harapan sederhana ini pun tak bisa dipenuhi oleh negara, lalu untuk siapa sebenarnya kekayaan alam ini dikelola?

Kini kita harus jujur mengakui: tidak ada pilihan lain dalam mewujudkan pemerintahan yang kuat, berani melawan intervensi perusahaan-perusahaan kapitalis seperti PT. Gorontalo Mineral dan semisalnya, serta berpihak sepenuhnya pada kesejahteraan rakyat, kecuali dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Hanya dalam sistem kepemimpinan Islam yang diwariskan Rasulullah ﷺ, dilanjutkan para khalifah, hingga runtuhnya pada 3 Maret 1924, kekayaan alam dikelola secara adil, merata, dan berkelanjutan. Sebab sistem yang berasal dari Zat Yang Maha Adil, tentu akan melahirkan keadilan yang sejati. Dan hanya sistem itu yang layak menjadi warisan untuk generasi mendatang. Maka menegakkan kepemimpinan yang adil—yang menerapkan sistem ilahiyah secara menyeluruh—bukan sekadar solusi alternatif, tetapi keharusan yang harus segera diwujudkan demi masa depan umat dan alam semesta ini.

Itulah keadilan sejati yang sedang kita nanti, bukan janji dari manusia yang sering kehilangan nurani, namun keadilan yang tak bertepi dari zat yang Maha adil. Tidak akan ada kesempitan, dan kedzoliman serta ketidakadilan yang merajai dalam kehidupan, saat kita bernaung dalam aturan-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى
Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124)

Mari kita yakini janji-Nya yang pasti datangnya, keberkahan dari langit dan bumi sebagaimana dalam firman-Nya:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Dan sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A'raf: 96).

Wallahu a’lam bish-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar