NIAT MENCARI KERJA, BERUJUNG RICUH


Oleh: Hafidzarahman
Sarjana Manajemen Bisnis (S.Mb)

Nenek antre BPJS, Bapak antre Pertalite, Ibu antre Gas Melon, Anak antre Lowongan Kerja. Begitulah meme tentang “antre” kembali ramai diperbincangkan di jagat media sosial belakangan ini. Besar kemungkinan meme tersebut mencuat lagi setelah beberapa hari lalu beredar berita tentang besarnya antusiasme para pencari kerja—baik laki-laki (ikhwan) maupun perempuan (akhwat)—yang berbondong-bondong mendatangi job fair di Kota Bekasi. Diberitakan, kurang lebih ada sekitar 25.000 pencari kerja memadati area job fair pada hari itu. Jumlah tersebut hampir setara dengan kapasitas penonton stadion di kota tersebut. Akan tetapi, bukan hanya jumlah peserta yang menjadi sorotan, tetapi juga kericuhan yang terjadi di antara peserta di lokasi acara.

Seperti dilansir oleh beberapa media online, salah satunya kompas.com (28/05/2025), kronologi kejadian bermula ketika salah satu pencari kerja merebut pamflet QR code. Lalu, terjadi saling dorong hingga akhirnya benturan fisik tak terelakkan, bahkan berujung baku hantam di tengah kerumunan peserta. Ini menjadi ironi, mengingat para peserta datang dengan niat mencari pekerjaan sebagai wasilah (perantara) untuk mencari nafkah. Namun faktanya, ketersediaan lowongan kerja dalam acara tersebut hanya untuk 2.517 calon karyawan dari 64 perusahaan. Jumlah yang tergolong kecil dibandingkan dengan jumlah peserta yang hadir. Dari sini dapat digarisbawahi, bahwa sulitnya mencari kerja bukan semata karena faktor individu, melainkan juga karena sistem negara yang kurang maksimal dalam menyerap tenaga kerja rakyatnya.


Sisi Gelap Kapitalisme

Dalam sistem kapitalisme, manusia bisa dikatakan hanya dianggap sebagai bahan bakar industri—komoditas yang tenaganya harus diperas demi memberikan manfaat kepada negara, yakni berupa pajak. Tidak peduli laki-laki ataupun perempuan, selama masih dalam kategori usia produktif, kelompok ini diharapkan memberikan kontribusi berupa tenaga kepada suatu industri, lalu menerima upah, dan kemudian menyerahkan sebagian dari upah tersebut kepada negara dalam bentuk pajak. Dari poin ini, terlihat bahwa sistem kapitalisme memandang perempuan secara berbeda dibandingkan cara Islam memandang dan menempatkan mereka dalam ruang sosial sebuah negara. Tentunya, ini tidak sesuai dengan fitrah seorang wanita.

Bagi laki-laki, sah-sah saja jika tenaganya “diperas”, karena memang mereka diwajibkan untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Yang cukup menyesakkan dari sistem kapitalisme adalah, ketika kelompok usia produktif belum mampu memberikan manfaat ekonomi bagi negara, mereka langsung dianggap sebagai “beban negara” karena berdampak pada menurunnya potensi penerimaan pajak. Negara menginginkan kelompok ini untuk bekerja semaksimal mungkin, namun di sisi lain negara tidak menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai. Dalam hal ini, negara telah abai terhadap kewajibannya dalam menyediakan pekerjaan. Islam tentu memandang hal ini secara berbeda.


Indah dengan Islam

Pandangan Islam jelas berbeda. Dalam urusan bekerja, Islam menghukumi pekerjaan bagi perempuan sebagai perkara yang sunnah, karena fitrah perempuan adalah di rumah—berperan penting dalam membangun peradaban, yaitu dengan mendidik anak-anak agar memiliki pemikiran dan perilaku sesuai syariat Islam. Bagi seorang Muslim, meraih rida Allah ﷻ adalah tujuan utama. Dalam konteks ini, masih banyak perempuan yang bekerja, namun lingkungan kerja justru membuat mereka lalai terhadap syariat, misalnya dalam hal berpakaian. Aturan berpakaian bagi perempuan di luar rumah diperkuat oleh firman Allah ﷻ dalam Surah Al-Ahzab ayat 59. Maka, dalam skala prioritas fikih, yang wajib harus didahulukan daripada yang sunnah.

Ada kaidah fikih yang mengatakan: "Mā lā yatimmul wājib illā bihī fa huwa wājib" (Sesuatu yang tidak bisa sempurna pelaksanaan kewajibannya kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib). Dalam Surah Al-Baqarah ayat 233 juga ditegaskan bahwa seorang ayah atau suami wajib memberi nafkah kepada istri. Dengan begitu, ketika laki-laki diwajibkan untuk mencari nafkah, maka negara juga wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka, karena hal tersebut menjadi syarat terpenuhinya kewajiban mereka sebagai pencari nafkah. Pandangan Islam ini sangat bertolak belakang dengan cara pandang kapitalisme.

Ketika aturan Islam diterapkan, niscaya keberkahan akan datang bagi seluruh umat manusia. Sayangnya, hingga kini aturan Islam belum bisa diterapkan secara menyeluruh. Akibatnya, masyarakat pun seakan bingung membedakan mana yang wajib, mana yang sunnah, dan mana yang haram untuk dilakukan. Negara pun demikian—lalai dalam menjalankan kewajibannya karena sistem yang dipakai bukanlah sistem Islam.

Namun, kita sebagai umat Muslim harus tetap yakin dan terus berikhtiar bahwa suatu saat nanti, aturan Islam akan kembali diterapkan. Dan ketika itu terjadi, kehidupan manusia akan menjadi lebih indah di bawah naungan syariat-Nya.

Wallāhu A‘lam bish-shawāb.

Posting Komentar

0 Komentar