
Oleh: Inan
Pengemban Dakwah Islam
Terhampar hijau, dan biru lautnya persada Indonesia, di dalam bumi, dan permukaannya, kekayaan tak terhingga. Demikianlah penggalan bait lagu “Indonesia Milik Allah” yang ditulis dan dinyanyikan oleh Ustaz Hari Moekti (alm.) untuk menggambarkan keindahan dan kekayaan alam Indonesia. Lagu ini juga sangat mewakili pesona alam Raja Ampat yang ada di Papua. Gugusan pulau-pulau karst dan keanekaragaman hayati bawah lautnya sungguh sangat menakjubkan. Tak heran jika Raja Ampat dijuluki sebagai “Surga Terakhir”.
Namun, siapa sangka, Raja Ampat kini berubah menjadi lokasi eksploitasi tambang nikel besar-besaran. Keindahan yang selama ini terjaga akhirnya rusak oleh aktivitas pertambangan. Pulau-pulau kecil yang semula hijau kini berubah menjadi dataran tanah yang rata, dipenuhi alat-alat berat milik perusahaan.
Diketahui ada lima perusahaan yang terlibat dalam penambangan nikel di Raja Ampat, yaitu: PT Kawei Sejahtera Mining di Pulau Kawe, PT Mulia Raymond Perkasa di Pulau Batangpele, PT Waigeo Mineral Mining di Distrik Salawati Utara, PT Gag Nikel di Pulau Gag, dan PT Anugerah Surya Pratama di Pulau Manuran. Semua perusahaan tersebut telah nyata melakukan perusakan alam demi satu bahan dasar baterai mobil dan motor listrik: nikel.
Hilangnya Pesona Raja Ampat
Aktivitas tambang di Raja Ampat menyebabkan kerusakan yang sangat parah. Menurut data yang disampaikan oleh Greenpeace, luas kerusakan akibat tambang mencapai 500 hektare. Sementara itu, pulau-pulau tersebut bahkan tidak mencapai ratusan hektare luasnya.
Setidaknya ada dua dampak besar dari aktivitas tambang ini. Pertama, dampak ekologi, yaitu keanekaragaman hayati yang ada di hutan maupun di laut terancam keberlangsungannya. Padahal, kawasan tersebut merupakan habitat bagi 75% terumbu karang dunia dan satwa-satwa khas yang tidak dijumpai di wilayah manapun di dunia ini.
Kedua, dampak sosial, yakni hancurnya perekonomian masyarakat. Kegiatan ekowisata Raja Ampat yang selama ini berjalan dipastikan terganggu, bahkan bisa terhenti. Akibatnya, warga setempat kehilangan sumber pendapatan. Padahal, ekowisata menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Raja Ampat.
Kedua dampak ini sudah cukup menjadi bukti nyata hilangnya pesona Raja Ampat. Seperti peribahasa mengatakan, “hujan sehari menghapus kemarau setahun,” maka wajar jika tagar #SaveRajaAmpat menjadi viral sebagai wujud kepedulian masyarakat terhadap masa depan Raja Ampat sekaligus kemarahan rakyat atas abainya pemerintah dalam menangani aktivitas tambang tersebut.
Lagi-lagi, rakyat yang menderita, sementara keuntungan dinikmati para pengusaha. Hal ini mengonfirmasi bahwa pemerintah berpihak kepada pengusaha. Atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi, segala hal dilakukan, sekalipun harus merusak alam dan mengorbankan rakyatnya sendiri.
Jika kerusakan sudah terjadi, siapa yang akan bertanggung jawab? Siapa yang bisa mengembalikan ekosistem Raja Ampat? Siapa yang akan menanggung beban hidup masyarakat?
Indonesia Kritis
Pemerintah tidak menjalankan tugasnya sebagai pemelihara urusan rakyat. Justru, pemerintah menjadi regulator yang memuluskan program-program para pengusaha. Melalui regulasi yang ada, pengusaha diberikan akses sangat mudah untuk mengeksplorasi kekayaan alam negeri ini.
Duet maut antara pemerintah dan pengusaha telah melahirkan oligarki yang sangat rakus. Ditambah lagi dengan penerapan sistem kapitalisme, terciptalah “ekosistem” ideal bagi oligarki untuk melancarkan berbagai rencana mereka.
Kesejahteraan rakyat bukanlah prioritas utama dalam sistem kapitalisme. Justru kepentingan oligarki yang menjadi fokus. Maka tak heran bila semua regulasi berpihak kepada mereka, bukan kepada rakyat.
Jika dicermati lebih dalam, permasalahan tambang yang berimbas pada kerusakan alam dan mengorbankan hajat hidup orang banyak tidak hanya terjadi di Raja Ampat. Kasus serupa terjadi hampir di seluruh penjuru negeri, seperti tambang batu bara di Kalimantan, tambang emas di Papua dan Sulawesi, tambang timah di Bangka Belitung, dan lainnya. Semua aktivitas ini merusak alam. Ironisnya, sampai sekarang belum ada perbaikan berarti. Kalaupun ada, hanya sebatas “kosmetik” belaka.
Indonesia kini dalam kondisi kritis, bahkan tidak berlebihan bila dikatakan sedang sekarat. Kekayaan alam yang Allah ﷻ anugerahkan untuk kesejahteraan rakyat justru dikeruk secara brutal oleh oligarki yang mengaku sebagai “pelayan rakyat”. Rakyat hanya bisa menggigit jari tanpa mendapatkan apa-apa dari pemerintah. Sebaliknya, mereka diperas dengan pajak tinggi, biaya pendidikan dan kesehatan yang mahal, serta harga sembako yang kian meroket. Rakyat hidup dalam penderitaan, sementara kaum oligarki menikmati kemewahan dan kekuasaan.
Kapitalisme dan Kerakusan Oligarki
Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sangat mudah dikeluarkan menjadi senjata ampuh pengusaha untuk mengeksploitasi kekayaan alam. Bahkan, tak sedikit perusahaan yang beroperasi secara ilegal tanpa IUP. Ironisnya, pemerintah seolah menutup mata. Rakyat yang sejatinya berhak atas kekayaan alam justru “dipagari” oleh regulasi dan aparat, sehingga tak bisa menyentuhnya.
Inilah wujud penerapan ideologi kapitalisme yang selalu menguntungkan pemilik modal. Mereka akan terus mencari celah, meskipun harus mengorbankan nyawa orang lain. Oligarki yang hanya segelintir orang mampu menguasai hampir seluruh kekayaan alam, sementara ratusan juta rakyat justru menjadi korban kemiskinan, kebodohan, dan penyakit.
Semua rencana oligarki dibungkus rapi dalam narasi peningkatan sektor perekonomian. Padahal, isinya adalah pengkhianatan dan penipuan. Mereka menjual negeri ini kepada asing dan aseng demi memenuhi nafsu duniawi. Mereka rela mengorbankan rakyat demi harta dan kekuasaan.
Sungguh, kelakuan oligarki ini amat tamak dan rakus. Sementara, penerapan kapitalisme justru menjerumuskan rakyat dalam penderitaan dan kehinaan. Sampai kapankah penderitaan ini akan terus berlangsung?
Syariah Islam Menyelamatkan
Masyarakat harus menyadari bahwa mereka tengah berada dalam kondisi jauh dari kesejahteraan. Kesenjangan sosial kian menganga. Karena itu, dibutuhkan solusi tuntas yang sistemik dan fundamental agar seluruh persoalan segera teratasi.
Islam sebagai agama yang menyeluruh telah memberikan tuntunan agar kehidupan berjalan selamat dan sejahtera. Dalam hal tambang, Islam memandang bahwa:
Pertama, sumber daya alam adalah milik umat. Negara harus hadir sebagai pengelola tunggal kekayaan alam dan hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Rasulullah ﷺ bersabda:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Kedua, manusia dipilih oleh Allah ﷻ sebagai khalifah untuk memakmurkan bumi ini dengan cara mengurus dan menjaganya (QS Hud: 61). Ayat ini menjadi dasar pengelolaan kekayaan alam yang baik menurut syariat Islam.
Dalam sistem Islam, Khalifah akan membentuk departemen perindustrian yang bertugas mengelola seluruh SDA. Masyarakat akan diberdayakan sebagai tenaga profesional. Swasta maupun asing tidak diperbolehkan berinvestasi dalam pengelolaan SDA.
Ketiga, pengelolaan SDA tidak boleh merusak alam, karena Allah ﷻ melarangnya secara tegas (QS Al-A’raf: 56) dan memperingatkan bahaya dari kerusakan oleh tangan manusia (QS Ar-Rum: 41). Kedua ayat ini menjadi rambu-rambu utama.
Khalifah tidak akan menerbitkan kebijakan yang merusak alam. Sebaliknya, ia akan menjaga dan melestarikannya. Siapa pun yang merusak alam akan dikenai sanksi takzir, sesuai kadar kerusakan. Bila kerusakan sangat besar, pelakunya bahkan bisa dihukum mati.
Dengan sanksi tegas ini, siapa pun akan berpikir dua kali sebelum merusak alam. Hasilnya, kelestarian alam tetap terjaga.
Penutup
Persoalan tambang nikel di Raja Ampat dan tambang lainnya di penjuru negeri hanya akan selesai ketika negara ini menerapkan syariat Islam secara kaffah. Selama 13 abad peradaban Islam tegak, kerusakan alam tidak pernah terjadi. Justru Islam sebagai pemimpin peradaban membawa rahmat ke seluruh penjuru dunia. Ketika syariat Islam diterapkan, keberkahan akan menyertai kehidupan.
Kapitalisme tak pernah gagal dalam melahirkan pemimpin yang rakus dan serakah. Ideologi ini tidak akan pernah melahirkan pemimpin yang benar-benar mencintai rakyat. Hanya syariat Islam yang mampu melahirkan Amirul Mukminin dan membebaskan umat dari jeratan penderitaan. Syariat Islam hanya akan tegak dalam naungan Daulah Khilafah.
Karena itu, sudah saatnya masyarakat mencampakkan kapitalisme dan menjadikan syariat Islam sebagai solusi atas seluruh persoalan negeri. Inilah saatnya menyadari kerakusan oligarki dan memperjuangkan tegaknya Khilafah.
0 Komentar