#SAVERAJAAMPAT: KETIKA OLIGARKI RAKUS MENGGADAIKAN ALAM PAPUA


Oleh: Diaz
Jurnalis

Tagar #SaveRajaAmpat menjadi trending di berbagai media sosial pada Rabu, 4 Juni 2025. Publik bereaksi keras terhadap kabar eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang dinilai mengancam keberlanjutan ekosistem serta hak hidup masyarakat lokal.

Sorotan ini bukan tanpa alasan. Greenpeace Indonesia bersama empat pemuda Papua menggelar aksi damai dalam forum Indonesia Critical Minerals Conference 2025. Mereka membentangkan spanduk dengan pesan-pesan tajam: “What’s the True Cost of Your Nickel?”, “Nickel Mines Destroy Lives”, dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining.” (Tribun Toraja, 04/06/2025).

Pesan-pesan ini menggugah nurani kita: ada harga mahal yang harus dibayar atas nama “kemajuan industri”: hutan-hutan musnah, laut tercemar, dan masyarakat terpinggirkan. Semua demi nikel, komoditas strategis dalam transisi energi global.


Papua, Kaya Raya tapi Sengsara

Papua sering disebut sebagai tanah surga yang ironis: sumber daya alamnya melimpah (emas, nikel, tembaga, minyak, gas alam, dan energi terbarukan) namun rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Wilayah ini bahkan masuk dalam kategori 3T: tertinggal, terdepan, dan terluar.

Sangat disayangkan, potensi besar dari tambang tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan penduduknya. Infrastruktur sangat minim, akses pendidikan dan layanan kesehatan terbatas, dan masyarakat lokal lebih sering menjadi penonton dari geliat industri tambang yang kian menggila. Data dari Greenpeace menunjukkan bahwa dua perusahaan (PT GAG Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining) telah aktif mengeruk wilayah Raja Ampat, menyebabkan lebih dari 500 hektare hutan musnah dan mencemari ekosistem laut.

Alih-alih menjadi berkah, kekayaan alam Papua justru berubah menjadi kutukan, akibat sistem yang membiarkan kerakusan merajalela atas nama pembangunan.


Kapitalisme, Akar Masalahnya

Kerusakan di Raja Ampat tidak bisa hanya disederhanakan sebagai persoalan teknis seperti perizinan tambang atau lemahnya pengawasan. Ini adalah gejala dari penyakit sistemik bernama kapitalisme. Dalam sistem ini, prinsip utamanya jelas: modal sekecil-kecilnya, keuntungan sebesar-besarnya, tanpa memperhitungkan halal-haram maupun dampak terhadap lingkungan dan masyarakat.

Kapitalisme membuka jalan lebar bagi oligarki untuk menguasai sumber daya strategis. Sebaliknya, negara hanya berperan sebagai fasilitator, bukan pelindung rakyat. Di bawah dalih investasi, segelintir korporasi menguras kekayaan alam demi laba, sementara masyarakat lokal dibiarkan hidup dalam ketimpangan.

Contoh paling nyata adalah Freeport di Papua. Sudah lebih dari setengah abad menambang emas, namun rakyat sekitarnya masih hidup dalam kesulitan. Ini bukan sekadar kegagalan manajemen, melainkan akibat dari sistem ekonomi liberal yang membiarkan kekayaan milik umum dikuasai segelintir elite.


Kelola SDA demi Rakyat, Bukan Korporasi

Dalam Islam, sumber daya alam (SDA) merupakan milik umum yang wajib dikelola oleh negara demi kesejahteraan seluruh rakyat. Pengelolaan ini tidak boleh diserahkan kepada individu atau korporasi. Rasulullah ﷺ bersabda:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud)

Imam Abu Ubaid menjelaskan bahwa tambang dengan cadangan besar (seperti emas, minyak, dan nikel) termasuk dalam kategori ini. Maka, haram hukumnya jika dikuasai swasta, apalagi asing.

Islam menetapkan bahwa negara harus mengelola SDA secara langsung, dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan publik seperti pendidikan gratis, layanan kesehatan, subsidi kebutuhan pokok, serta pembangunan infrastruktur.

Aturan Islam yang diterapkan secara kaffah menjamin distribusi kekayaan dilakukan dengan adil. Negara tidak menunggu krisis untuk bertindak, tetapi proaktif dalam mencegah ketimpangan. Islam tidak sekadar memberi bantuan sosial sesaat, melainkan merombak sistem ekonomi dari akarnya. Hal ini dilakukan agar kekayaan tidak terus berputar di tangan segelintir elite, seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme, yang hanya menyisakan kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan bagi rakyat kecil akibat limbah eksploitasi alam di lingkungan sekitar mereka.


Berkah Hanya Hadir Jika Syariat Ditegakkan Secara Kaffah

Raja Ampat hanyalah satu dari sekian banyak contoh kehancuran ekologis dan sosial akibat kerakusan kapitalisme. Selama negeri ini masih menggunakan aturan buatan manusia yang rapuh dan mudah dibeli, rakyat Papua dan bangsa Indonesia secara keseluruhan akan terus menjadi korban.

Solusinya bukan tambal sulam regulasi atau evaluasi tambang, melainkan perubahan sistemik menuju penerapan syariat Islam secara kaffah. Hanya sistem Islam yang mampu mengubah kekayaan alam menjadi berkah. Hanya kepemimpinan yang amanah dalam naungan Khilafah yang dapat mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi seluruh rakyat, bukan hanya bagi para pemilik modal.

Sebagaimana firman Allah ﷻ:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi...” (QS. Al-A'raf [7]: 96).

Wallahu A'lam Bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar