SOLUSI DUA NEGARA: OMONG KOSONG!


Oleh: Imam Wahyono
Kurir Ideologis

Dalam berbagai forum internasional, Menteri Luar Negeri Indonesia, Sugiono, menyatakan bahwa sikap Indonesia terkait penyelesaian konflik Israel-Palestina adalah dengan mendukung solusi dua negara. Pernyataan serupa kembali disampaikan dalam forum International Court of Justice (ICJ) pada awal Mei 2025.

Sejalan dengan Menlu, Presiden Prabowo Subianto juga menggaungkan solusi dua negara dalam berbagai kesempatan. Terakhir, hal ini ditegaskan saat pertemuannya dengan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, di Istana Merdeka, Jakarta, pada 28 Mei 2025.

Solusi dua negara merujuk pada keputusan PBB tahun 1947 yang membagi wilayah menjadi dua negara: Negara Arab Palestina dan Negara Yahudi, dengan Yerusalem dijadikan wilayah internasional. Keputusan ini didukung oleh beberapa negara, termasuk Indonesia.

Namun dalam sejarahnya, pendirian negara Yahudi Israel tidak memiliki dasar historis yang kuat. Sejarah mencatat, bangsa Yahudi tidak pernah memiliki negara sendiri. Dari sisi teologis, tidak ada satu pun perintah dalam kitab suci mereka yang memerintahkan pendirian negara tersebut. Meski begitu, Dr. Theodor Herzl sebagai penggagas ide negara Yahudi tetap memaksa maju. Ia membentuk komunitas Yahudi Zionis melalui Kongres Basel tahun 1897, yang mengesahkan cita-cita berdirinya "Jewish State".

Dalam mewujudkan ambisinya, Herzl sempat mengincar wilayah Uganda atau Argentina. Namun, akhirnya mereka melihat Palestina sebagai lokasi paling potensial karena sudah ada komunitas Zionis di sana. Mereka berharap Gunung Zion bisa menjadi pusat spiritual Yahudi, sehingga memperkuat dukungan massa dan klaim keagamaan mereka.

Upaya Herzl dimulai tahun 1892 ketika ia menghadap Sultan Abdul Hamid II untuk meminta izin tinggal di Palestina. Namun, permintaan itu ditolak keras. Ia kecewa, tetapi tidak menyerah. Pada 1896, ia kembali menghadap Sultan untuk meminta izin mendirikan gedung di Al-Quds. Lagi-lagi ditolak dengan tegas. Sultan menegaskan bahwa wilayah tersebut adalah milik kaum Muslimin.

Pada tahun 1902, Herzl kembali untuk ketiga kalinya dengan membawa tawaran suap dalam jumlah besar: 150 juta poundsterling untuk keperluan pribadi Sultan, pelunasan seluruh utang negara, pembangunan kapal induk, serta pinjaman tanpa bunga sebesar 5 juta poundsterling. Namun Sultan menolaknya mentah-mentah. Herzl bahkan tidak diberi kesempatan bertemu langsung. Sultan hanya mengirim perdana menterinya untuk menyampaikan bahwa sejengkal tanah Palestina pun tidak akan dijual, karena itu bukan milik pribadi, melainkan milik umat Islam.

Pasca runtuhnya Khilafah Turki Utsmani tahun 1924, kaum Yahudi Zionis mencaplok Palestina dengan lebih leluasa dengan bantuan Inggris, tanpa ada kekuatan yang mampu menghalangi. Mereka menjatuhkan ratusan ton bom, melakukan ratusan kali serangan darat dan udara, serta mengabaikan puluhan resolusi PBB.

Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun sejak peristiwa Thufan Al-Aqsha 7 Oktober 2023, Israel telah menghancurkan ribuan kilometer jalan, rumah, masjid, gereja, bahkan mengebom kamp-kamp pengungsi. Biadab! Na'udzubillah min dzalik. Untuk memulihkan kondisi seperti semula, diperkirakan dibutuhkan waktu lebih dari 50 tahun. Hingga kini, sudah 50.846 warga Palestina gugur sebagai syuhada. Sejak pendudukan Israel pada 1947 pasca Perjanjian Balfour, jutaan warga Palestina telah kehilangan nyawa. Miris, kebiadaban Israel telah melampaui batas kewarasan. Ironi terbesar adalah bahwa semua ini terjadi di depan mata dunia, tanpa ada bantuan berarti dari saudara seiman sekalipun.


Solusi Islam

Perlu dipahami bahwa tanah Palestina adalah tanah kharajiyah, yaitu tanah yang diperoleh melalui penaklukan oleh Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu berabad-abad lalu. Artinya, tanah Palestina adalah milik umat Islam hingga hari kiamat.

Solusi satu-satunya dalam membebaskan Palestina adalah jihad, mengusir penjajah Israel dari Palestina, karena mereka tidak memiliki hak historis maupun teologis atas tanah tersebut. Terbukti Dr. Theodor Herzl sendiri tiga kali memohon kepada Sultan Abdul Hamid II untuk bisa tinggal di Palestina, dan semuanya ditolak.

Imam Syihabuddin ar ramli rahimahullah dalam Nihayatul Muhtaj (8/58) berkata :

فإن دخلوا بلدة لنا، وصار بيننا وبينهم دون مسافة القصر، فيلزم أهلها الدفع حتى من لا جهاد عليهم من فقير وولد وعبد ومدين وامرأة
"Jika musuh (yakni orang-orang kafir yang memerangi) telah memasuki suatu kota kita, dan jaraknya antara kita dan mereka tidak lebih jauh dari jarak yang dibolehkannya meringkas shalat (jarak qhasar), maka wajib bagi penduduk kota tersebut untuk membela negerinya, bahkan bagi mereka yang tidak diwajibkan berjihad, seperti orang miskin, anak-anak, budak, orang yang berutang, dan wanita."

Allah ﷻ juga memerintahkan dalam firman-Nya:

فَمَنِ اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوْا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ
"Maka barang siapa menyerang kalian, seranglah dia seimbang dengan serangannya terhadap kalian." (QS. Al-Baqarah: 194)


Solusi Dua Negara? Omong kosong!

Solusi dua negara (Two-State Solution), atau dalam bahasa Arab Hallu ad-Dawlatayn, adalah usulan PBB dalam Resolusi 181 (II) tahun 1947 untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Solusi ini membagi wilayah Palestina menjadi dua: 22 persen untuk Palestina dan 78 persen untuk Israel, dari total luas tanah 26.790 km².

Bagi kaum Muslimin di seluruh dunia, solusi ini wajib ditolak, terlebih lagi bagi bangsa Indonesia yang merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Sebagaimana telah tertulis dengan jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: "Sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan."

Menerima solusi dua negara berarti menyetujui penjajahan, kebiadaban, dan kekejaman Israel atas tanah Palestina. Ini tidak ubahnya seperti dahulu Belanda menjajah Nusantara, mengeksploitasi sumber daya dan menindas rakyat. Namun bangsa ini tidak memilih jalan kompromi. Tidak ada solusi dua negara di sini—misalnya Belanda menguasai Jawa dan Sumatera, sementara Indonesia mengelola Kalimantan dan Sulawesi. Tidak! Bangsa ini memilih jalan jihad dan perjuangan hingga berhasil mengusir penjajah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ
"Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi pada Hari Kiamat di lehernya." (HR. Muttafaq ‘alayh)

Prof. Dr. Abdul Al-Fattah El-Awaisi, seorang pakar geopolitik yang lahir di tenda pengungsian Palestina dan terusir oleh Israel, ketika ditanya tentang solusi dua negara, menjawab singkat: "Rubbish" (Omong kosong!).

Wallahu a’lam bish-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar