UJIAN NASIONAL ATAU UJIAN MORAL? SAAT NILAI MENGALAHKAN AKHLAK


Oleh: Sulis Setiawati
Aktivis Muslimah

Fenomena menyontek saat ujian nasional kembali mencuat di berbagai wilayah Indonesia pada tahun 2025 ini. Berdasarkan laporan dari Kompas.com, Mei 2025, banyak pengawas ujian yang melaporkan adanya kecurangan terorganisir, mulai dari penggunaan ponsel tersembunyi hingga kerja sama antar siswa dalam satu ruang ujian. Ironisnya, dalam beberapa kasus, ada pula oknum pendidik yang membiarkan hal tersebut terjadi demi menjaga “citra baik” sekolah.

Menyontek bukan sekedar pelanggaran aturan sekolah, tapi mencerminkan krisis moral yang lebih dalam. Dalam Islam, kejujuran tidak hanya dianjurkan, tetapi menjadi prinsip penting dalam setiap tindakan dan perilaku. Allah ﷻ berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18).

Pesan dari ayat ini adalah bahwa kejujuran dan rasa tanggung jawab kepada Allah harus dijaga, termasuk dalam urusan yang tampak sepele seperti ujian.

Dalam Islam Kaffah, yaitu Islam yang dipraktikkan secara menyeluruh dan konsisten di seluruh aspek kehidupan, perilaku menyontek menunjukkan ketidakkonsistenan antara nilai iman dan amal. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنِّي
Barang siapa yang menipu, maka ia bukan dari golonganku” (HR.Muslim).

Makna dari hadits tersebut bukan berarti bahwa orang yang menipu atau berbuat curang langsung keluar dari Islam atau menjadi kafir. Namun, hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan menipu termasuk menyontek adalah perbuatan yang sangat tercela dalam pandangan Islam.

Melihat lebih dalam, sistem pendidikan yang menitikberatkan pada nilai akademik semata tanpa membangun karakter juga turut andil dalam menciptakan mentalitas curang. Siswa cenderung mengejar nilai daripada makna belajar itu sendiri. Tanpa pemahaman agama yang kuat, mereka tidak merasa bahwa menyontek adalah perbuatan dosa yang akan dipertanggungjawabkan kelak.

Islam yang utuh (kaffah) mengharuskan umatnya untuk berintegritas dalam semua hal, tidak terkecuali saat menuntut ilmu. Oleh karena itu, solusinya pun harus bersifat menyeluruh, yaitu dengan memperbaiki sistem pendidikan agar berbasis pada akhlak dan nilai-nilai Islam. Peran guru dan orang tua sebagai teladan dalam kejujuran, pengendalian diri, dan ketakwaan sangat penting untuk dibangun sejak dini dan dibiasakan. Pendidikan karakter juga harus terintegrasi dengan pendidikan akademik, bukan hanya menjadi pelengkap.

Masyarakat dan pemerintah harus memutus budaya permisif terhadap kecurangan. Ujian bukan hanya soal hasil, tapi soal proses. Jika generasi muda dibiasakan menang dengan jalan curang, maka bangsa akan kehilangan pemimpin yang amanah. Oleh karena itu, pendidikan berbasis Islam kaffah harus dijadikan pijakan utama dalam membentuk generasi jujur, mandiri, dan bertanggung jawab.

Islam bukan hanya mengatur ibadah, tapi juga akhlak, etika, belajar, dan nilai kejujuran. Menyontek adalah cermin dari rapuhnya nilai keimanan akibat tidak dibina secara kaffah. Maka untuk menghapus budaya menyontek, kita tidak hanya perlu pengawasan ketat di ruang ujian, tetapi juga kesadran iman dalam hati setiap siswa – sebuah kesadaran yang hanya lahir dari penerapan Islam secara utuh dalam kehidupan.

Posting Komentar

0 Komentar