
Oleh: Mujiman
Penulis
Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh mantan Ketua DPR, Setya Novanto. Hukuman penjaranya yang semula 15 tahun dipangkas menjadi 12 tahun 6 bulan.
Putusan ini sontak menimbulkan berbagai catatan penting, terutama dalam konteks sistem hukum Indonesia saat ini yang menganut sistem civil law (hukum modern). Diantaranya:
1. PK adalah Hak Konstitusional
Dalam hukum positif Indonesia, PK merupakan langkah hukum luar biasa yang dijamin undang-undang. Tujuannya untuk memperbaiki putusan jika ditemukan kesalahan hakim atau adanya bukti baru. Dari sisi hukum formal, keputusan MA ini sah dan sesuai prosedur.
2. Transparansi dan Kepercayaan Publik
Meski proseduralnya sah, pengurangan hukuman dalam kasus korupsi besar seperti ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat. Publik merasa perlu ada penjelasan terbuka mengenai alasan di balik keringanan vonis tersebut. Tanpa transparansi, kepercayaan publik terhadap sistem hukum bisa semakin terkikis. Kesan yang muncul: hukum terkesan “lunak” terhadap koruptor kelas kakap dan mudah diintervensi oleh kekuasaan maupun kekayaan.
3. Efek Jera Melemah
Pemangkasan hukuman, meski hanya sekitar 2,5 tahun, berpotensi mengurangi efek jera. Ini bisa menjadi preseden buruk dan membuka peluang bagi para koruptor lain untuk menempuh jalur serupa demi keringanan hukuman.
4. Antara Kemandirian Hakim dan Harapan Publik
Putusan ini juga mencerminkan dilema klasik: antara independensi hakim dan harapan publik untuk melihat hukuman tegas terhadap pelaku korupsi. Di satu sisi, hakim harus mandiri dan bebas dari tekanan publik. Di sisi lain, masyarakat menuntut keadilan yang nyata, bukan sekadar prosedural.
Singkatnya, sistem hukum Indonesia sebenarnya sudah memiliki perangkat untuk memerangi korupsi. Namun yang menjadi persoalan adalah integritas aparat penegak hukum, transparansi proses hukum, dan konsistensi penerapan hukum itu sendiri. Masyarakat menginginkan keadilan yang benar-benar terasa, bukan sekadar formalitas hukum.
Solusi Islam, Tegas dan Adil Lewat Sistem Khilafah
Islam memiliki sistem hukum yang bukan hanya kuat secara substansi, tapi juga menyeluruh dalam pencegahan dan penegakan keadilan. Dalam sistem Khilafah, korupsi dipandang sebagai kejahatan besar karena merampas hak Allah dan hak umat.
Berikut prinsip-prinsip utama penanganan korupsi dalam sistem Islam:
1. Taqwa dan Tanggung Jawab kepada Allah
Para pejabat dan hakim dalam sistem Islam selalu dididik untuk memiliki rasa takut kepada Allah (taqwa) dan sadar akan tanggung jawab akhirat. Ini menjadi benteng moral yang kokoh untuk menegakkan keadilan dan menjauhi kecurangan.
2. Tidak Ada PK Seperti Sistem Sekarang
Putusan hakim dalam sistem Islam tidak mudah diubah. Hanya jika ada bukti sangat kuat dan jelas terjadi kesalahan fatal, maka putusan bisa ditinjau kembali. Hal ini menjaga wibawa hukum dan mencegah manipulasi.
3. Pengembalian Harta dan Hukuman Tegas
Islam mewajibkan seluruh harta hasil korupsi dikembalikan kepada negara atau pihak yang berhak. Selain itu, pelaku dikenai hukuman berat agar menimbulkan efek jera dan mencegah kejahatan serupa.
4. Pencegahan yang Terstruktur dan Terintegrasi
Sistem Khilafah memiliki mekanisme pencegahan korupsi yang menyeluruh, antara lain:
- Seleksi ketat pejabat berdasarkan integritas dan kapasitas.
- Gaji mencukupi sesuai kebutuhan dasar.
- Kewajiban pelaporan dan pengawasan harta kekayaan.
- Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan.
- Transparansi dalam pengelolaan keuangan negara.
Dengan sistem seperti ini, Islam mampu menghadirkan hukum yang tegas namun adil, serta membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem keadilan. Syariat Islam, melalui sistem Khilafah, bukan sekadar alternatif, tetapi solusi hakiki untuk mewujudkan keadilan sejati dan pemberantasan korupsi yang menyeluruh.
0 Komentar