
Oleh: Nita Nur Elipah
Penulis Lepas
Dunia telah berubah. Kehidupan manusia modern tidak bisa dipisahkan dari peran teknologi. Kecanggihan digital memungkinkan siapa saja mengakses informasi apa pun dengan mudah, baik yang bermanfaat maupun yang merusak. Anak-anak pun kini tak lagi akrab dengan dunia nyata. Sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk berselancar di internet.
Penggunaan gawai secara berlebihan sejak usia dini menjadikan anak-anak semakin rentan terhadap ancaman siber. Konten yang beredar di media sosial sering kali memicu meningkatnya perilaku kekerasan dan penyimpangan di kalangan mereka. Salah satu masalah serius yang muncul adalah pornografi anak di ruang digital.
Berdasarkan data dari National Center on Missing and Exploited Children (NCMEC), Indonesia berada di peringkat keempat dunia dan kedua di ASEAN dalam jumlah kasus pornografi anak di dunia digital. Ini merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan, apalagi mengingat Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Namun, anak-anak dan remaja di negeri ini justru menjadi korban dari derasnya arus konten merusak. Lantas, di manakah peran negara? (Tempo, 18-02- 2025)
Sistem Rusak, Bukan Sekadar Regulasi Lemah
Memang, pemerintah telah membuat sejumlah kebijakan untuk melindungi anak di ruang digital. Sebagai contoh, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah menerbitkan Peraturan Pemerintah mengenai Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik untuk Perlindungan Anak, yang dikenal dengan sebutan PP Tunas. Regulasi ini mengatur agar platform digital menyediakan fitur sesuai usia, serta mewajibkan penyedia konten menyaring materi yang membahayakan anak.
Namun, pertanyaannya: apakah dengan adanya regulasi tersebut, kasus kejahatan seksual terhadap anak bisa dihentikan? Faktanya, kasus demi kasus masih terus bermunculan. Ini menunjukkan bahwa regulasi semata belum menyentuh akar persoalan. Selama sistem yang diterapkan masih berbasis kapitalisme-sekularisme, maka kejahatan seperti pornografi akan terus mengalir bersama arus digitalisasi yang dipacu oleh motif untung dan liberalisasi.
Negara seharusnya bertindak lebih tegas, bukan hanya menyediakan fitur “ramah anak”, tetapi juga menutup total akses terhadap semua bentuk pornografi dan pornoaksi. Karena sebanyak apa pun “pagar digital” dibuat, anak-anak dan remaja tetap bisa mencari celah untuk mengakses konten negatif. Bahkan hari ini, konten semacam itu justru muncul secara otomatis di berbagai aplikasi tanpa dicari.
Fenomena ini bukan hanya soal literasi digital yang rendah, tapi juga buah dari lemahnya penanaman iman dan akhlak akibat sistem pendidikan sekuler. Parahnya lagi, negara cenderung mengedepankan keuntungan materi dari industri digital, ketimbang menjamin keselamatan moral generasi muda.
Inilah wajah asli dari kehidupan dalam sistem kapitalisme sekuler, ketika teknologi digunakan tanpa dibingkai iman dan ilmu. Lebih buruk lagi, penguasaan terhadap ruang siber global telah menjadi alat hegemoni. Negara kita bahkan rentan dikendalikan oleh kekuatan asing melalui jalur digital. Contohnya seperti penunjukan Indonesia sebagai pusat pelaksanaan berbagai program salah satu lembaga PBB di Asia Tenggara yang mencerminkan bahwa kedaulatan teknologi kita masih lemah. (PII, 10-07-2025)
Padahal, Allah ﷻ telah menegaskan larangan bagi kaum Muslim untuk menyerahkan diri pada kekuasaan orang-orang kafir. Sebagaimana firman-Nya:
وَلَوْ كَانُوْا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالنَّبِيِّ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوْهُمْ اَوْلِيَاۤءَ وَلٰكِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ فٰسِقُوْنَ
“Dan sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Muhammad), dan kepada apa yang diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak akan menjadikan orang musyrik itu sebagai pemimpin. Tetapi banyak di antara mereka, orang-orang yang fasik.” (QS Al-Ma’idah: 81)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam tafsirnya bahwa iman yang benar seharusnya melahirkan loyalitas kepada Allah dan menjauhkan umat dari ketergantungan kepada orang-orang kafir. Maka, membangun kemandirian teknologi dan ruang digital adalah kewajiban umat Islam, bukan sekadar pilihan politik pragmatis.
Namun, semua ini tidak mungkin diwujudkan dalam sistem kapitalisme. Karena ideologi kapitalisme menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan utama, bukan keselamatan moral dan spiritual masyarakat.
Solusi Tuntas dari Sistem Islam Kaffah
Untuk mewujudkan ruang siber yang aman, informasi yang sehat, dan generasi yang terlindungi, negara harus menerapkan aturan Islam secara kaffah. Negara dalam Islam adalah junnah (perisai), pelindung umat dari segala bentuk ancaman.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
“Sesungguhnya imam itu adalah perisai. Umat berperang di belakangnya dan berlindung dengannya. Jika ia memerintahkan takwa kepada Allah dan berlaku adil, maka ia akan mendapatkan pahala. Namun jika ia memerintahkan sebaliknya, ia juga akan mendapatkan dosa karenanya.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi menjelaskan bahwa makna junnah (perisai) adalah pelindung yang menjaga umat dari segala bentuk ancaman, termasuk kezaliman sesama manusia dan pengaruh merusak dari luar. Artinya, negara harus benar-benar hadir sebagai pelindung generasi, bukan menjadi bagian dari arus liberalisasi yang justru menghancurkan mereka.
Negara Islam tidak hanya membangun teknologi mandiri, tapi juga memberikan arahan yang benar dalam penggunaannya. Dunia siber diarahkan untuk menjaga kehormatan manusia dan keselamatan dunia–akhirat. Dalam Islam, media adalah sarana dakwah, bukan instrumen bisnis murahan atau propaganda ideologi sekuler.
Islam mengatur agar setiap konten media (baik cetak, visual, maupun digital) selalu tunduk pada prinsip syariat. Tujuannya bukan sekadar memberi hiburan, tetapi membentuk opini yang benar, memperkuat akidah umat, dan menjaga masyarakat dari pemikiran sesat dan gaya hidup menyimpang.
Saatnya Beralih ke Sistem Ilahiah
Hanya sistem Islam kaffah yang mampu memberikan perlindungan menyeluruh terhadap generasi muda. Sistem ini tidak hanya melarang, tapi juga membina. Tidak hanya menutup pintu maksiat, tapi juga membuka jalan takwa. Sistem Islam kaffah adalah satu-satunya solusi tuntas dalam menghadapi tantangan era digital yang kian kompleks dan membahayakan.
Sudah saatnya umat meninggalkan sistem rusak warisan penjajah. Mari perjuangkan tegaknya Islam secara menyeluruh, demi masa depan anak-anak kita dan kemuliaan umat seluruhnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
0 Komentar