
Oleh: Abu Siddiq
Penulis lepas
Setiap malam, dunia tidur dengan damai. Tapi di Gaza, malam berarti suara dentuman bom, jeritan anak-anak, dan tubuh-tubuh yang dibungkus kain putih. Sudah lebih dari 20 bulan, tragedi ini berlangsung, dan dunia Islam seolah hanya jadi penonton yang mengelus dada.
Lebih dari 1,8 miliar umat Islam tersebar di seluruh dunia. Tapi jumlah besar itu ternyata tak sanggup menghentikan satu negara kecil bernama Israel yang membombardir rakyat Palestina siang dan malam. Rumah-rumah luluh lantak. Masjid-masjid dibumihanguskan. Anak-anak dibantai. Bahkan rumah sakit dan kamp pengungsi pun jadi sasaran. Yang terdengar dari dunia Islam hanyalah kutukan, diplomasi hambar, konferensi darurat yang nihil hasil, dan bantuan kemanusiaan yang tak pernah cukup menghadang rudal dan misil.
Mengapa Dunia Islam begitu lemah? Apa yang membuat umat sebesar ini kehilangan taringnya?
Warisan Perpecahan Sykes-Picot
Jawabannya mungkin bisa ditelusuri dari selembar perjanjian rahasia yang ditandatangani lebih dari seabad lalu: Perjanjian Sykes-Picot, 1916. Dalam perjanjian itu, dua kekuatan penjajah utama (Inggris dan Prancis) dengan restu Rusia, bersepakat untuk membagi-bagi wilayah Kekhilafahan Utsmaniyah yang sedang melemah. Targetnya jelas: memecah Dunia Islam, menghancurkan Khilafah, dan menguasai sumber daya strategis di kawasan tersebut, termasuk minyak, jalur perdagangan, dan wilayah pesisir.
Pasca perang, hasilnya nyata. Dunia Islam tercerai-berai menjadi lebih dari 50 negara bangsa (nation-states) baru yang tidak saling terhubung secara ideologis maupun spiritual. Wilayah yang dulunya satu di bawah Khilafah kini terbelah dan dibatasi oleh pagar, paspor, dan politik identitas yang sempit.
Tragedi Gaza hari ini hanyalah satu dari sekian bukti nyata betapa berhasilnya proyek pemecahan umat tersebut.
Ketika Garis Batas Menjadi Sekat Solidaritas
Dampak paling mencolok dari Sykes-Picot adalah hancurnya solidaritas umat. Saat Gaza dibantai, tak ada pasukan dari negeri-negeri Muslim yang bergerak. Mesir bahkan menutup perbatasan Rafah. Yordania cukup dengan demonstrasi. Turki hanya mengecam. Negara-negara Arab sibuk menjaga hubungan dagang dan militer dengan Amerika dan Israel. Masing-masing rezim hanya sibuk mempertahankan ‘wilayahnya’ sendiri, seolah lupa bahwa tanah Palestina juga bagian dari kehormatan umat.
Dunia Barat, dengan sistem dan hegemoninya, semakin kuat mencengkeram. Pada sisi lain, sistem politik, ekonomi, dan pendidikan di dunia Islam sekuler terus menjauhkan umat dari nilai-nilai Islam. Kekacauan internal pun terus berlangsung akibat batas negara buatan yang bahkan tidak memperhatikan realitas etnis dan mazhab, seperti di Suriah, Irak, dan Lebanon.
Saatnya Mengakhiri Era Nation-State
Inilah saatnya umat Islam memikirkan ulang sistem politik mereka. Jika akar dari kehancuran ini adalah disintegrasi pasca-Sykes-Picot, maka solusinya adalah penyatuan kembali umat Islam dalam satu entitas politik: Khilafah.
Mengapa Khilafah? Karena ini adalah perintah syariat. Allah berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ ۚ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sungguh orang-orang beriman itu bersaudara. Maka damaikanlah antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-Ḥujurāt [49]: 10)
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpegang teguhlah kalian semua pada tali (agama) Allah dan jangan bercerai-berai...” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 103)
Persatuan umat bukan sekadar wacana, tapi kewajiban. Dalam kitab Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, Imam al-Mawardi menjelaskan:
الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Imamah adalah sebutan bagi pengganti Kenabian dalam menjaga agama (Islam) dan mengatur urusan dunia (dengannya).”
Demikian pula menurut Imam Ibn Hazm, al-Qurthubi, hingga ijmak para sahabat. Bahkan Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ مَاتَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa saja yang mati dan di pundaknya tidak ada baiat (kepada khalifah), maka ia mati dalam keadaan jahiliah.” (HR Muslim)
Bukan Utopia, Tapi Kebutuhan Nyata
Selain alasan syar’i, penegakan Khilafah juga merupakan solusi rasional dan faktual atas krisis yang menimpa umat:
- Khilafah menyatukan umat Islam tanpa batas negara. Seorang Muslim di Mesir dapat langsung membantu saudaranya di Palestina tanpa dihalangi visa atau militer perbatasan.
- Khilafah memiliki kekuatan militer dan sumber daya gabungan seluruh negeri Muslim. Ia mampu menggerakkan jihad membela kaum tertindas di Gaza, Kashmir, Uighur, dan tempat lainnya.
- Khilafah membebaskan dunia Islam dari ketergantungan pada kekuatan asing seperti PBB, AS, Rusia, atau Cina. Semua entitas kafir penjajah itu tak pernah benar-benar berpihak pada kaum Muslim.
Membangun Masa Depan, Bukan Mengenang Masa Lalu
Menegakkan kembali Khilafah bukan nostalgia masa lalu. Ini adalah kebutuhan umat dan perintah Allah. Ini adalah langkah untuk mengakhiri dominasi penjajahan, memulihkan kekuatan umat, dan membangun sistem global yang berpihak pada keadilan sejati.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ دَعَا دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ فَإِنَّهُ مِنْ جِثِّيِ جَهَنَّمِ
“Siapa saja yang menyerukan seruan jahiliah (‘ashabiyah), maka ia termasuk penghuni neraka.” (HR at-Tirmidzi)
Nation-state adalah produk jahiliah modern yang memecah-belah ukhuwah Islamiyah. Sudah saatnya kita kembali bersatu di bawah sistem yang diridhai Allah, yaitu Khilafah Islamiyah.
0 Komentar