
Oleh: Ledy Ummu Zaid
Penulis Lepas
Hari ini, siapa yang tidak pusing menghadapi kebutuhan hidup yang terus membengkak? Di tengah tekanan ekonomi yang semakin mencekik, justru para penguasa kerap membuat ulah. Alih-alih menyejahterakan rakyat, mereka malah menambah beban dengan kebijakan yang menyakitkan. Tak heran jika praktik korupsi semakin merajalela, sementara rakyat terhimpit oleh hegemoni kekuasaan dan kapital besar.
Kolusi dan Korupsi yang Mendarah Daging
Dilansir dari Kumparan, 20 Juni 2025, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menyebut ancaman besar yang tengah mengintai bangsa ini adalah state capture, kolusi antara pemilik modal besar dengan pejabat pemerintahan dan elite politik.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam pidatonya pada Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg (SPIEF) 2025 yang digelar di Rusia, Jumat, 20 Juni. Kolusi ini, menurutnya, menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan memperlebar kesenjangan kelas sosial, terutama terhadap kelas menengah.
Sebagai solusi, Presiden Prabowo memilih “jalan tengah”: mengambil sisi terbaik dari sosialisme dan kapitalisme. Ia menilai sosialisme terlalu utopis karena mematikan motivasi kerja, sementara kapitalisme justru melahirkan ketimpangan sosial yang tajam. Akibatnya, kekayaan negara hanya beredar di lingkup kalangan elite saja.
Sementara itu Berita Satu, 18 Juni 2025 memberitakan bahwa Kejaksaan Agung telah menyita dana sebesar Rp11,8 triliun terkait kasus korupsi izin ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya tahun 2022 yang melibatkan Wilmar Group. Dana itu merupakan bentuk pengembalian kerugian negara oleh pihak perusahaan.
Meski para terdakwa sempat mendapat putusan onslag atau lepas, proses hukum tetap berlanjut di tingkat kasasi. Beberapa hakim, pegawai perusahaan, hingga pihak-pihak lain yang terlibat pun ditangkap karena diduga ikut memanipulasi vonis.
Kejaksaan Agung berhasil membongkar kolusi korupsi yang melibatkan lima anak perusahaan Wilmar: PT Multimas Nabati Asahan, PT Multimas Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia. Perusahaan-perusahaan ini diduga menyuap pejabat untuk memuluskan izin ekspor CPO, yang mengakibatkan kerugian negara sangat besar.
Demokrasi Menjadi Lahan Subur Kolusi dan Korupsi
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya sudah sadar bahwa kapitalisme maupun sosialisme bukanlah sistem yang ideal. Keduanya menyimpan konsekuensi berat yang merugikan rakyat. Sementara itu, praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) terus tumbuh subur di negeri ini.
Sistem demokrasi yang berakar dari kapitalisme terbukti gagal menciptakan ruang publik yang jujur dan adil. Dalam sistem ini, state capture menjadi keniscayaan. Kebijakan negara sering kali hanyalah “pesanan” dari para pemilik modal.
Terjadilah politik transaksional: penguasa butuh dana dari pengusaha untuk meraih kekuasaan, sedangkan pengusaha butuh kebijakan yang menguntungkan. Inilah simbiosis koruptif yang menjadi jantung sistem demokrasi.
Sistem ini menganut pandangan sekuler, yaitu memisahkan urusan kehidupan dari nilai-nilai agama. Maka, manusia merasa bebas melakukan apa saja demi meraih kekuasaan dan kekayaan. Prinsip “menghalalkan segala cara” menjadi lumrah, selama memberi keuntungan.
Islam Menutup Celah Kolusi dan Korupsi
Islam datang dengan sistem yang menjadikan akidah Islam sebagai fondasi kehidupan. Setiap individu terikat untuk menjalankan syariat secara menyeluruh (kaffah). Dari sinilah muncul ketakwaan yang melahirkan kejujuran dan amanah dalam setiap peran dan jabatan.
Rasulullah ï·º bersabda:
ÙƒُÙ„ُّÙƒُÙ…ْ رَاعٍ ÙˆَÙƒُÙ„ُّÙƒُÙ…ْ Ù…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam sistem Islam, negara wajib menerapkan hukum syariat secara sempurna, termasuk dalam urusan pemerintahan dan politik. Dalam upaya mencegah korupsi, Islam menetapkan sistem sanksi yang tegas dan memberikan efek jera. Koruptor akan dihukum dengan ta’zir, jenis hukuman yang bentuk dan kadarnya ditentukan oleh hakim, bisa berupa teguran, cambuk, hingga hukuman mati.
Rasulullah ï·º juga bersabda:
Ù„َعْÙ†َØ©ُ اللَّÙ‡ِ عَÙ„َÙ‰ الرَّاشِÙŠ ÙˆَالْÙ…ُرْتَØ´ِÙŠ
“Rasulullah melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR. Ahmad)
Khatimah
Pada akhirnya, semua manusia (baik individu, masyarakat, maupun penguasa) akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ï·». Karena itu, tidak cukup sekadar menyadari bahwa sistem hari ini cacat. Umat harus bersatu dan beralih menuju sistem yang benar, yaitu kepemimpinan Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah ‘ala minhajin nubuwwah.
Hanya sistem Islam yang mampu menghapus kolusi, korupsi, dan nepotisme dari akarnya. Bukan dengan tambal sulam sistem demokrasi kufur, tapi dengan kembali kepada aturan Ilahi yang telah terbukti menciptakan keadilan dan kemakmuran dalam sejarah umat.
0 Komentar