KALA LONELY IN CROWD MENYASAR KAUM MUDA


Oleh: Nunung Sulastri
Penulis Lepas

Perkembangan teknologi dari tahun ke tahun semakin pesat dan canggih, terutama dalam teknologi komunikasi. Dalam dekade terakhir, ada banyak inovasi untuk mempermudah jalinan komunikasi, dengan banyak aplikasi berbasis fitur internet yang bisa dijalankan di smartphone, seperti email, browser, game online, TikTok, Instagram, YouTube, dan media sosial lainnya.

Saat ini, setiap orang menggunakan smartphone sebagai media komunikasi. Smartphone menjadi barang yang sangat penting dan harus dibawa ke mana pun.

Contohnya, remaja yang secara psikologis masih labil dan masih mencari jati diri, senang menunjukkan eksistensinya di media sosial. Sehingga, anggapan ketinggalan zaman karena tidak memiliki akun media sosial menjadi budaya yang lumrah di kalangan remaja. Menulis status dari kegiatan sehari-hari hingga curhatan isi hati menjadi rutinitas harian yang sudah menjadi hal yang lazim saat ini. Media sosial menjadi tempat curhat bagi penggunanya.

Perasaan yang terhubung di media sosial tidak berarti menghilangkan perasaan sepi. Seseorang bisa begitu aktif di dunia maya, tetapi minim interaksi sosial secara langsung atau bertatap muka. Ini dikenal dengan fenomena "lonely in the crowd" yang menyasar berbagai kalangan, terutama generasi muda.

Fenomena ini menarik perhatian mahasiswa ilmu komunikasi UMY. Mereka melakukan riset berjudul Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperralitas Audiovisual.

Menurut teori hiperralitas, representasi digital yang kerap dianggap lebih nyata daripada realitas itu sendiri, sehingga emosi yang dibentuk media dapat mempengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosial seseorang terhadap manusia lainnya.

Menurut Fifin Anggela Prista, ketua tim riset, mengungkapkan ide penelitian berawal dari pengamatan sehari-hari terhadap kebiasaan Gen Z yang hampir selalu berselancar di media sosial, khususnya TikTok, dan menemukan keterkaitan antara media sosial yang berlebihan dengan rasa kesepian, insecure, bahkan masalah kesehatan mental (Detik, 18/09/2025).


Dampak Psikologis Kesendirian di Tengah Keramaian

Merasa sendirian meskipun dikelilingi banyak orang adalah pengalaman yang terjadi pada setiap orang, terutama yang aktif di media sosial.

Banyak orang di era digital merasa kesepian meskipun dikelilingi orang banyak, terutama di dunia media sosial yang sibuk. Contohnya, generasi Z yang sering disebut sebagai generasi paling kesepian, kurang percaya diri, atau merasa tidak aman, bahkan menghadapi masalah kesehatan mental dan emosional.

Masalah ini bukan hanya karena kurangnya pemahaman tentang teknologi atau pengelolaan perangkat, tetapi juga karena dampak psikologis dari merasa sendirian di tengah keramaian, yang disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
  • Mental menjadi depresi dan emosional tidak stabil;
  • Kepribadian yang tertutup;
  • Kualitas tidur yang buruk karena sehari-harinya bergelut dengan media sosial;
  • Kecemasan sosial;
  • Perasaan terisolasi dari lingkungan masyarakat, karena tidak mau berbaur.


Kesendirian: Buah dari Sistem Sekuler

Fenomena "lonely in the crowd" merupakan efek dari kehidupan yang menganut aturan atau sistem sekuler-liberalisme-kapitalisme yang mengusung kebebasan berperilaku. Ini juga disebabkan industri kapitalis yang telah membuat arus di media sosial yang menimbulkan dampak buruk, di antaranya sikap asosial yang tidak butuh orang lain karena merasa sosialismenya terpenuhi di media sosial.

Selain menimbulkan gangguan kejiwaan atau mental yang rapuh, juga menimbulkan masyarakat yang apatis dan individualistik yang sulit bergaul di dunia nyata, bahkan di tengah keluarga pun pola hubungan di antara anggota keluarga terasa jauh, sehingga menyebabkan kerenggangan antara orang tua dengan anak, dengan kerabat, dan anggota keluarga lainnya.

Sikap asosial dan perasaan kesepian di tengah keramaian akan berdampak buruk dan merugikan umat, terlebih lagi bagi generasi muda yang sebenarnya punya potensi besar untuk menghasilkan karya-karya produktif, malah menjadi pribadi yang susah bergaul karena memuaskan diri di lingkungan media sosial. Kepedulian terhadap persoalan umat juga tidak akan mampu dipotret oleh masyarakat yang terjebak dalam kesepian dirinya.

Dalam arus kapitalisme, kemajuan teknologi dan media sosial bagaikan pisau bermata dua. Bisa memberi manfaat atau memberi bahaya bagi penggunanya, karena sistem kapitalisme menjadikan media sosial lebih banyak digunakan untuk konten-konten yang tidak bermanfaat, seperti mencari popularitas, mencari cuan sebanyak-banyaknya, gaya hidup hedonis, bahkan penyebaran pola pikir liberal-sekuler. Ini karena pandangan hidup kapitalisme yang mendominasi tujuan hidup manusia menjadi manusia yang individualis serta konsumeristik.

Manusia pada umumnya adalah makhluk sosial yang pasti membutuhkan manusia lain atau bantuan orang lain untuk menjalani kehidupannya.

Allah berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat 13:

يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقۡنٰكُمۡ مِّنۡ ذَكَرٍ وَّاُنۡثٰى وَجَعَلۡنٰكُمۡ شُعُوۡبًا وَّقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوۡا​ ؕ اِنَّ اَكۡرَمَكُمۡ عِنۡدَ اللّٰهِ اَ تۡقٰٮكُمۡ​ ؕ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيۡمٌ خَبِيۡرٌ‏
"Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti."


Memanfaatkan Media Sosial dengan Cara Islam

Media sosial memang sangat dibutuhkan di zaman sekarang, tetapi pemanfaatannya harus digunakan dengan bijak.

Media sosial merupakan produk digital sebagai sarana teknologi. Dalam Islam, dibolehkan memanfaatkan teknologi untuk kebaikan, dan apapun teknologinya, baik itu TikTok, Instagram, YouTube, dan lainnya, jika paradigmanya Islam yang digunakan, akan memberikan dampak positif dan kemaslahatan bagi umat manusia.

Masyarakat harus menyadari bahwa pengaruh media sosial yang tidak dikelola dengan bijak akan menjadikan banyak orang semakin asosial, individualistis, dan merasa kesepian di tengah keramaian. Fenomena ini sangat merugikan umat, terutama generasi muda.

Masyarakat harus menjadikan Islam sebagai identitas utama, karena suatu masyarakat tanpa Islam seperti bangunan tanpa tiang yang pasti rapuh bahkan runtuh. Dengan identitas Islam, masyarakat tidak akan terus-menerus menjadi korban sistem sekuler-liberal yang menjadikan manusia bebas tanpa arah.

Peran negara juga sangat diperlukan, bahkan penting, dalam mengendalikan pemanfaatan dunia digital dan mendorong masyarakat, khususnya generasi muda, agar tetap produktif dan berkontribusi dalam menyelesaikan problematika umat.

Negara akan mendorong cendekiawan Muslim untuk menciptakan teknologi atau platform serta media sosial yang mengedukasi lapisan masyarakat dan memberdayakan generasi muda agar menyalurkan potensi-potensi yang bermanfaat bagi umat, serta kehadiran media sosial semata-mata untuk menyebarkan dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar serta menebar kebaikan untuk seluruh umat manusia.

Allah berfirman dalam surah Al-A'raf ayat 96:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."

Wallaahu'alam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar