KAPITALISASI EKONOMI GLOBAL: JOB HUGGING MENJADI TAKTIK ANDALAN DALAM SISTEM SAAT INI


Oleh: Najwa Fikriya
Penulis Lepas

Dilansir dari Detik, 20/09/25, mengungkapkan fenomena yang marak terjadi pada dunia kerja saat ini atau dikenal dengan istilah job hugging, di mana para pekerja memilih untuk menetap dibanding beralih ke pekerjaan lain sebab ketidakpastian pasar kerja. Mereka mencari tempat yang aman dibandingkan mengambil risiko, seperti adanya PHK yang dapat melonjak kapan saja.

Berdasarkan kutipan CNBC Internasional, persentase terendah pekerja yang log out hanya 2% sejak 2016, sementara hasil survei ZIP Recruiter menunjukkan bahwa persentase karyawan yang beralih pekerjaan meningkat dari 43% menjadi 52%, setelah dua kali dalam kurun waktu tertentu. Bahkan tak hanya para pekerja, perusahaan pun ragu menambah karyawan mereka karena pertumbuhan ekonomi yang tidak pasti, sehingga banyak perusahaan lebih memilih mempertahankan karyawan lama dibanding merekrut karyawan baru.

Fenomena job hugging merupakan salah satu dari sekian dampak gagalnya peraturan ekonomi ala kapitalisme global. Bahkan di negara-negara maju seperti Amerika pun, masyarakatnya juga merasakan betapa sulitnya mencapai kesejahteraan di saat ketidakpastian ekonomi negara. Masyarakat di belahan dunia turut menjerit dan tercekik, sebab pengaturan ekonomi saat ini tidak berpihak kepada mereka. Di mana rakyat tidak dijamin memiliki pekerjaan tetap yang menjadi sumber penghasilan mereka, sehingga rakyat dibiarkan terombang-ambing dalam kesengsaraan untuk mencari sumber penghidupan sendiri, padahal kuota lowongan pekerjaan sangat terbatas.

Wajar saja, jika job hugging telah merebak dan menjadi pilihan para pekerja dunia saat ini. Sebab negara menyediakan lapangan pekerjaan semata-mata demi keuntungan yang dapat diraup dan masuk ke kantong pribadi saja, tanpa melihat bagaimana nasib rakyatnya memiliki pekerjaan atau tidak. Alih-alih mengamati, bahkan suara rakyat saja tak didengar akan keluh kesah mereka tentang sulitnya mencari pendapatan. Negara justru membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi para pengusaha swasta maupun asing berupa alih tata kelola SDA maupun kepemilikan umum lainnya kepada mereka, sementara rakyat miskin terlantarkan dan dibiarkan terus terombang-ambing dalam kemiskinannya akibat tak ada perluasan lapangan pekerjaan yang dibuka oleh pemerintah.

Terlebih lagi, pengusaha asing dari negeri lain lebih mendominasi, terutama di Indonesia. Penguasa asing berkuasa dalam merekrut tenaga kerja, entah dari rakyat negara sendiri maupun TKI (tenaga kerja Indonesia). Begitu juga dengan pengusaha swasta yang tak efektif dalam memberikan gaji yang selaras dengan kinerja para karyawan, sebab tujuan mereka hanya sebatas keuntungan pribadi. Maka dari itu, perusahaan swasta tidak berperan sebagai penggerak perekonomian negara dalam menyerap tenaga kerja dalam negeri.

Hal tersebut merupakan dampak dari negara yang mengimplementasikan ekonomi bersifat non-real dan ribawi, di mana hanya segelintir orang saja yang merasakan dan sisanya direbutkan oleh rakyat jelata. Begitu pun dengan sistem ribawi dalam transaksi yang selalu dikaitkan dengan riba. Maka tidak dipungkiri, perusahaan swasta memiliki hubungan erat dengan pemerintah, sebab asas dan tujuan yang sama.

Fenomena seperti ini pasti terjadi dalam peradaban sistem kapitalisme. Karena negara sendiri abai dan lepas tangan dalam menjamin kesejahteraan rakyat, meskipun negara memberikan kurikulum untuk menyiapkan generasi muda sebagai tenaga kerja ketika telah selesai masa pendidikannya. Hal ini tak berpengaruh apapun dalam memajukan perekonomian, justru menghasilkan banyak pengangguran di usia produktif karena pekerjaan yang menampung tenaga kerja sangat minim dan terbatas. Terlebih lagi, prinsip liberalisasi diterapkan dalam perdagangan negara, segala hal bebas diperjualbelikan, sekalipun kepemilikan negara untuk fasilitas publik demi meraih keuntungan yang tercakup di dalamnya.

Berbeda dengan tata kelola perekonomian ala Islam, negara bertanggung jawab penuh dalam menjamin kebutuhan rakyat. Mencakup dalam memperoleh pekerjaan dengan mudah dan segalanya pun tersedia. Kewajiban negara sebagai penjamin pekerjaan yang layak bagi rakyat serta negara juga ikut andil dalam pendistribusian harta, sehingga harta dapat tersebar dan merata kepada rakyat. Tak seperti pengaturan harta saat ini, yakni harta dibiarkan hanya berputar dari tangan ke tangan para penguasa dan pengusaha saja, dan rakyat hanya merebutkan apa yang tersisa.

Negara Islam memiliki berbagai kebijakan yang telah ditetapkan oleh seorang khalifah, terutama dari segi perekonomian. Negara menjalankan roda perekonomian dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Bahkan negara juga bertanggung jawab untuk mengelola kepemilikan umum berupa tata kelola SDA atau sumber daya alam, industrialisasi secara mandiri, kemudian hasilnya diklaim sebagai sumber pendapatan negara dan didistribusikan kepada rakyat, bisa berupa fasilitas, modal, hingga sarana dan prasarana, termasuk ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati). Itu semua disalurkan kepada rakyat yang membutuhkan sebagai tanah produktif yang digunakan dalam memulai usaha mereka.

Selain itu, dalam Islam, dari segi pendidikan dan pekerjaan harus dihidupkan dalam jiwa masyarakat dengan ruh dan keimanan dalam menjalaninya, sehingga masyarakat menjalani atas dasar aqidah. Karena Allah menjadikan halal dan haram sebagai standar patokan perbuatan.

Maka dari itu, negara wajib melayani kebutuhan umat yang didasari dengan niat ibadah, tulus, dan ikhlas karena Allah semata yang menjadikan pemimpin dalam mengatur negaranya. Karena dalam dirinya telah tertanam rasa keimanan dan ketakwaan, sehingga muncul pemimpin yang taat dan tunduk pada syariat yang telah Allah tetapkan.

Wallahu A'lam.

Posting Komentar

0 Komentar