
Oleh: Dewi Ummu Alisna
Penulis Lepas
Pondok pesantren telah lama menjadi pilar pendidikan Islam di Indonesia. Di sinilah para santri belajar ilmu agama, membangun karakter, dan menumbuhkan semangat pengabdian kepada masyarakat. Namun, di balik kiprah besarnya, masih banyak pesantren yang harus berjuang keras membangun dan memperbaiki fasilitas dengan dana yang sangat terbatas.
Beberapa waktu lalu, tepatnya pada Senin (29/9) sore hari, bangunan gedung tiga lantai, termasuk musala di asrama putra Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, ambruk. Saat insiden itu terjadi, ada ratusan santri yang sedang melaksanakan salat Ashar berjamaah di gedung yang masih dalam tahap pembangunan tersebut.
Basarnas telah menuntaskan proses evakuasi pada Selasa (7/10). Data terakhir menunjukkan bahwa korban tewas mencapai 67 orang yang ditemukan, termasuk delapan bagian tubuh (body part). Total korban terevakuasi mencapai 171 orang, terdiri dari 104 korban selamat. Dari jumlah korban meninggal, baru 34 yang teridentifikasi.
Pengasuh Pondok Pesantren Al Khoziny, Abdus Salam Mujib, menyatakan permintaan maaf kepada keluarga korban. Beliau juga menyebut bahwa peristiwa yang terjadi adalah takdir Allah dan berharap semua keluarga bersabar. "Saya kira ini memang takdir dari Allah. Jadi semua harus bersabar dan mudah-mudahan diberi ganti oleh Allah yang lebih baik. Diberikan pahala yang tidak bisa diutarakan serta dibalas dengan balasan kebaikan oleh Allah," kata Salam, Selasa (30/9).
Namun, di sisi lain, Salam juga menyampaikan bahwa insiden tersebut diduga disebabkan oleh kekurangan dalam kekuatan struktur bangunan, khususnya pada penopang cor yang tidak memadai. Beliau menjelaskan bahwa saat kejadian, bangunan sedang dalam tahap pengecoran akhir di bagian atas atau dak, yang seharusnya sudah lebih kokoh dan siap untuk menahan beban lebih berat. (CNN Indonesia, 08/10/2025).
Jika ditelusuri, kasus ambruknya bangunan pondok pesantren disebabkan bukan oleh bencana alam, melainkan konstruksi yang tidak memadai dan minimnya pengawasan selama proses pembangunan. Selama ini, sumber dana pembangunan pesantren sebagian besar berasal dari wali santri dan para donatur yang jumlahnya terbatas dan tidak menentu. Akibatnya, pembangunan sering dilakukan secara bertahap dan seadanya. Pembangunan dilakukan dengan semangat gotong royong, tetapi melupakan aspek keselamatan dan standar konstruksi.
Sementara itu, Bupati Sidoarjo, Subandi, mengakui bangunan tersebut belum memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). "Ini saya tanyakan izin-izinnya mana? Tetapi ternyata tidak ada. Tadi ngecor lantai tiga karena konstruksi tidak standar, jadinya roboh," kata Bupati. Beliau menyayangkan banyak Pondok Pesantren yang lebih mendahulukan pembangunan dan mengesampingkan faktor perizinan (CNN Indonesia, 08/10/2025).
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang kini berganti nama menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sejatinya dibuat untuk memastikan bangunan aman, tertib, dan sesuai tata ruang. Namun, di lapangan, proses mengurus izin ini justru menjadi sesuatu yang menakutkan bagi masyarakat, terutama bagi lembaga pendidikan berbasis keagamaan seperti pondok pesantren. Bagi banyak pengelola pesantren, mengurus IMB terasa seperti memasuki labirin birokrasi yang panjang, berbelit, dan mahal.
Tak sedikit yang akhirnya memilih membangun terlebih dahulu, baru nanti “diurus belakangan”. Padahal, di sisi lain, negara seharusnya memastikan setiap fasilitas pendidikan, termasuk pesantren, memiliki bangunan yang layak, aman, dan legal.
Untuk mendapatkan IMB atau PBG, pemohon wajib melengkapi banyak dokumen: mulai dari sertifikat tanah, gambar arsitektur, perhitungan struktur, hingga rekomendasi lingkungan. Semua itu memerlukan tenaga profesional dan waktu yang tidak sebentar. Masalahnya, banyak pondok pesantren tidak memiliki tenaga ahli atau arsitek yang bisa membuat gambar sesuai standar teknis. Akibatnya, berkas sering tertolak atau diproses sangat lama.
Koordinasi antarinstansi juga masih lambat. Walau kini ada sistem online, di banyak daerah prosesnya tetap harus melalui beberapa dinas berbeda. Akibatnya, proses pengurusan bisa memakan waktu berbulan-bulan. Dan secara resmi, biaya IMB bergantung pada luas dan fungsi bangunan. Untuk bangunan pendidikan seperti pesantren, biayanya bisa mencapai Rp10–50 juta. Sebagian besar bukan untuk “izin”-nya, melainkan untuk jasa arsitek, perhitungan struktur, dan retribusi daerah.
Bagi pesantren kecil yang hidup dari donasi masyarakat, angka ini jelas berat. Banyak di antaranya memilih menggunakan dana yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan santri (seperti makan, buku, dan operasional harian) ketimbang mengurus perizinan bangunan.
Sebagian besar pesantren di Indonesia juga berdiri di atas tanah wakaf. Sayangnya, banyak tanah wakaf yang belum memiliki sertifikat resmi. Tanpa sertifikat, pengajuan izin bangunan juga tidak bisa diproses. Di sinilah letak persoalan klasik: niatnya mulia, tanahnya halal, tapi secara hukum belum kuat. Akibatnya, bangunan pesantren tetap dianggap “liar”, meski fungsinya sangat vital bagi pendidikan umat.
Kondisi ini mencerminkan lemahnya peran negara dalam menjamin sarana pendidikan bagi seluruh umat. Padahal, di dalam Islam, negara memiliki tanggung jawab penuh dalam menyediakan fasilitas pendidikan yang aman, nyaman, dan berkualitas untuk umat.
Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara yang tidak boleh diserahkan kepada masyarakat ataupun swasta. Allah ﷻ berfirman:
اَلَّذِيْنَ اِنْ مَّكَّنّٰهُمْ فِى الْاَرْضِ اَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ وَاَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِۗ
"(Yaitu) orang-orang yang jika kami berikan kedudukan di muka bumi, mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh pada yang makruf, dan mencegah pada yang mungkar." (QS. Al-Hajj [22]: 41)
Ayat ini menjelaskan bahwa tugas utama pemimpin atau penguasa dalam Islam adalah menegakkan seluruh urusan umat, termasuk dalam bidang pendidikan. Para ulama seperti Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menegaskan bahwa tanggung jawab negara meliputi pengaturan seluruh urusan masyarakat demi kemaslahatan bersama.
Dalam sistem Islam, pendanaan fasilitas publik seperti pendidikan bersumber dari baitul mal, yaitu lembaga keuangan negara yang mengelola pemasukan dari zakat, kharaj, jizyah, dan sumber pendapatan publik lainnya. Dari sinilah negara mendanai kebutuhan rakyat, termasuk dalam pembangunan fasilitas pendidikan tanpa membedakan antara negeri ataupun swasta. Prinsipnya, negara wajib memastikan setiap warga memperoleh akses pendidikan yang aman, nyaman, dan berkualitas.
Rasulullah ﷺ juga menegaskan dalam sabdanya:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya." (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa pemimpin tidak boleh melepaskan tanggung jawab terhadap rakyatnya, termasuk dalam hal pendidikan. Jika fasilitas pendidikan dibiarkan rusak, tidak aman, atau bergantung pada kemampuan masyarakat, maka negara telah lalai dalam mengemban amanahnya.
Sudah saatnya negara hadir bukan hanya sebagai pengatur, tetapi juga penanggung jawab utama pendidikan rakyat. Karena pendidikan adalah salah satu pilar penegak peradaban Islam. Pendidikan yang bermutu bisa terwujud jika negara menjalankan amanahnya secara utuh, bukan sekadar memberikan bantuan, tetapi menjamin hak setiap anak untuk belajar dalam lingkungan yang aman, nyaman, dan berkualitas. Inilah makna sejati tanggung jawab negara menurut Islam, yakni menjadi pelindung, penyedia, dan penjamin kesejahteraan umat.
Wallahu a'lam bishawab.
0 Komentar