
Oleh: Azka Afqihatunnisa
Penulis Lepas
Pemerintah Indonesia terus berinovasi dalam menghadirkan pendidikan yang lebih merata dan berkualitas. Salah satu langkah nyata yang baru saja diluncurkan adalah program Sekolah Garuda. Program ini disebut-sebut sebagai inisiatif strategis dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) yang diperkenalkan pada Rabu, 8 Oktober 2025.
Mendiktisaintek Brian Yuliarto menyampaikan bahwa “Sekolah Garuda berdiri di atas tiga pilar utama, yakni penyeimbang akses bagi seluruh anak bangsa agar dapat berprestasi, inkubator pemimpin untuk menyiapkan generasi emas Indonesia 2045 terutama di bidang sains dan teknologi, serta pendidikan berkualitas yang menyatu dengan pengabdian masyarakat,” (Serayu News, 09/10/2025).
Sudah berkali-kali Indonesia melakukan berbagai terobosan di bidang pendidikan, baik melalui perubahan nama sekolah (seperti sekolah rakyat hingga sekolah garuda) maupun lewat pergantian kurikulum. Namun, kenyataannya belum juga menghasilkan perubahan berarti. Alih-alih semakin baik, dunia pendidikan justru kian kacau dan membingungkan. Generasi penerus bangsa yang semestinya menjadi agen perubahan malah tumbuh tanpa memiliki prinsip yang kokoh.
Belum lagi, banyak program pemerintah dengan anggaran besar justru berpotensi menjadi ladang basah bagi segelintir oknum. Demikian pula dengan Sekolah Garuda, yang dikabarkan akan menelan biaya sekitar Rp200 miliar. Tidak ada jaminan seluruh dana tersebut benar-benar dialokasikan sesuai kebutuhan program.
Di sisi lain, hal yang juga patut dikritisi adalah inkonsistensi pemerintah. Di saat pemerintah gencar berbicara soal efisiensi anggaran, mengapa justru begitu mudah menggelontorkan dana besar untuk proyek-proyek baru di bidang pendidikan? Sebut saja program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan kini Sekolah Garuda. Layak dipertanyakan dari mana sumber pendanaan semua program itu, mengingat selama ini Indonesia masih mengandalkan utang sebagai tumpuan pembiayaan berbagai kebijakan. Lebih ironis lagi, program-program tersebut tidak menyentuh akar persoalan yang bersifat fundamental.
Sistem kapitalisme-sekuler-liberal menjadi penyebab utama rusaknya wajah pendidikan di negeri ini. Sistem ini melahirkan carut-marut kebijakan dan gagal menumbuhkan generasi unggul. Paham liberalisme justru menggiring para pelajar menuju kehidupan yang abnormal, penuh hedonisme, dan sulit diarahkan pada nilai-nilai kebaikan.
Kurikulum yang silih berganti pun tak memberi dampak signifikan terhadap perubahan pola pikir generasi muda. Mereka semakin terombang-ambing karena tidak memiliki pijakan berpikir dan bertindak yang jelas. Tujuan pendidikan yang ada hanya berorientasi pada keunggulan akademik, tanpa diimbangi pembentukan aspek spiritual dalam diri peserta didik. Kondisi ini sejalan dengan ide sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan.
Padahal, Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Dalam pandangan Islam, tujuan pendidikan adalah membentuk generasi berkepribadian Islam (syaksiyah Islamiyyah). Karena itu, generasi Islam harus memiliki keseimbangan antara pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang islami. Keduanya harus berjalan seiring; tidak boleh salah satunya lebih dominan. Maka, baik pendidik maupun peserta didik wajib berkepribadian Islam.
Artinya, pondasi utama bagi generasi adalah akidah Islam yang kuat, agar mereka tidak mudah hanyut oleh arus kehidupan dan tetap teguh dalam menjalankan perannya sebagai kaum terpelajar. Inilah yang seharusnya menjadi visi dan misi setiap lembaga pendidikan.
Dalam sistem Islam, negara berperan sebagai pengurus urusan rakyat. Pendidikan merupakan hak setiap warga dan kewajiban negara untuk memenuhinya. Negara wajib memberikan pelayanan terbaik agar pendidikan terselenggara secara layak dan merata. Tidak boleh ada diskriminasi antara sekolah di pusat kota dan sekolah di wilayah perbatasan, semuanya memiliki hak yang sama.
Namun demikian, tanggung jawab pendidikan tidak semata-mata diserahkan kepada sekolah. Negara memiliki kewajiban untuk memastikan setiap individu rakyat mencapai ketakwaan yang sempurna kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tujuan pendidikan yang ingin melahirkan generasi berkepribadian Islam hanya dapat terwujud jika seluruh komponen bersinergi. Keluarga berperan menanamkan nilai-nilai Islam sejak dini, masyarakat menjalankan fungsi kontrol sosial, dan negara menerapkan sistem pendidikan serta aturan Islam secara menyeluruh, yakni dalam bingkai Khilafah Islamiyyah.
Wallahu a‘lam.
0 Komentar