
Oleh: Retno Purwaningtias, S. IP.
Analis Sosial Politik
Sekali lagi, rakyat harus menelan pil pahit berita tentang korupsi. Ini bukan pertama kalinya, bahkan sudah terlalu sering terjadi. Kali ini, kasus tersebut melibatkan tubuh BUMN, PT Pelindo, yang seharusnya menjadi pilar utama ekonomi maritim Indonesia. Mantan Direktur Teknik PT Pelindo, HAP, bersama Direktur Utama PT DOK dan Perkapalan Surabaya Persero, BS, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan kapal tunda senilai Rp135 miliar. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp115 miliar, sebuah angka yang sangat besar dan lagi-lagi menguap begitu saja dari uang rakyat. (Detik, 25/09/2025).
Proyek besar itu semestinya menjadi kebanggaan. Kapal tunda yang diharapkan bisa memperkuat industri pelabuhan justru berubah menjadi simbol ketamakan dan lemahnya pengawasan. Hasilnya? Negara rugi besar, rakyat kembali kecewa. Para pejabat yang mestinya menjadi pengabdi publik malah menjadikan jabatan sebagai ladang mengeruk keuntungan pribadi.
Coba bayangkan, berapa banyak keluarga yang menggantungkan harapan pada proyek itu? Para nelayan yang menanti peningkatan layanan pelabuhan, para pekerja yang berharap lapangan kerja terbuka. Semua pupus oleh kerakusan segelintir orang yang lebih mencintai dunia daripada amanah. Mereka lupa, di balik setiap rupiah yang mereka curi, ada hak rakyat kecil yang dizalimi.
Sayangnya, kasus seperti ini tak lagi mengejutkan. Setiap tahun, daftar panjang koruptor bertambah, sementara rasa malu dan tanggung jawab seolah menghilang dari hati para pejabat. Setelah ditangkap dan ditahan, publik akan disuguhi drama hukum yang berlarut-larut, kadang hukuman ringan, kadang remisi, bahkan tak jarang masih bisa menduduki jabatan lain setelah keluar penjara.
Inilah potret suram negeri dengan sistem sekuler kapitalistik yang mengakar dalam seluruh lini kekuasaan. Sistem yang menjadikan jabatan bukan sebagai amanah, melainkan alat untuk memperkaya diri. Dalam logika kapitalisme, kekuasaan adalah akses terhadap sumber daya. Selama masih ada peluang untuk mengubah proyek menjadi pundi-pundi, korupsi akan terus hidup dan mencari celah.
Lemahnya integritas bukan semata soal pribadi, melainkan akibat dari sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Ketika nilai halal dan haram tidak dijadikan standar, maka yang tersisa hanyalah ukuran untung dan rugi. Hukum dibuat oleh manusia yang juga bisa dikompromikan oleh uang dan kekuasaan. Tak heran jika sanksi bagi koruptor tak pernah benar-benar menimbulkan efek jera.
Padahal dalam pandangan Islam, korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan besar terhadap amanah umat. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَل، فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ، كَانَ غُلُولًا يَأتِي به يَومَ القِيَامَةِ
“Barang siapa yang kami angkat menjadi pegawai lalu menyembunyikan sesuatu dari hasil pekerjaannya walaupun sekadar jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (pengkhianatan). Dan siapa yang berbuat ghulul, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan membawa hasil pengkhianatannya.” (HR. Muslim)
Bayangkan jika setiap pejabat benar-benar hidup dengan kesadaran ini bahwa setiap harta yang ia ambil tanpa hak akan menjadi beban di akhirat. Mungkin tak ada tangan yang berani mengambil uang rakyat, tak ada pena yang tega menandatangani proyek curang, karena yang mereka lihat bukan hanya dunia, tetapi azab Allah di hadapan mata.
Dalam Islam, setiap harta negara adalah amanah yang akan ditagih hisabnya. Siapa pun yang mengkhianatinya harus dihukum tegas, bukan karena dendam sosial, tetapi demi menegakkan keadilan dan membersihkan kerusakan di bumi. Negara dalam sistem Islam pun tidak membiarkan pengawasan hanya berhenti di laporan audit, tetapi menanamkan ketakwaan sebagai benteng pertama seorang pejabat. Ia sadar, pengawasan manusia bisa luput, tetapi pengawasan Allah tak pernah tidur.
Sebaliknya, dalam sistem kapitalisme, korupsi akan selalu beranak pinak. Mungkin pelakunya berbeda, tetapi polanya sama: proyek besar, nilai fantastis, dan kerugian rakyat. Setelah itu, drama hukum pun berulang: penetapan tersangka, penahanan, konferensi pers, lalu hilang perlahan dari pemberitaan tanpa perubahan sistemik.
Maka, pertanyaannya: apa gunanya sanksi kalau sistemnya tetap korup?
Selama aturan yang diterapkan masih buatan manusia, selama jabatan masih dianggap ladang kekayaan, dan selama orientasi hidup masih duniawi tanpa takut hisab, maka sanksi hanyalah formalitas tanpa makna.
Sudah saatnya kita melihat akar masalah ini dengan jernih. Bukan sekadar mengganti pejabat atau menambah pasal dalam undang-undang, tetapi mengganti paradigma yang rusak, dari sistem sekuler kapitalistik menuju sistem yang menjadikan amanah sebagai ibadah, dan kekuasaan sebagai jalan menuju tanggung jawab di hadapan Allah.
Karena hanya sistem yang berlandaskan wahyu yang mampu melahirkan pemimpin yang takut berbuat zalim, pejabat yang takut mengkhianati rakyat, dan penguasa yang sadar bahwa setiap harta umat akan dimintai pertanggungjawaban.
Korupsi bukan hanya soal uang yang dicuri, tetapi soal nurani yang mati. Dan selama sistem yang rusak ini masih dipertahankan, jangan kaget jika korupsi terus berulang, dengan wajah dan nama baru, tetapi dengan dosa yang sama.
Pada akhirnya, keadilan sejati tidak lahir dari banyaknya undang-undang, tetapi dari hati yang takut kepada Allah. Karena di hadapan-Nya, bukan jabatan yang ditanya, melainkan bagaimana amanah itu dijaga.
Wallahualam bissawab.
0 Komentar