
Oleh: Siti Janna
Penulis Lepas
Dan terjadi lagi dalam dunia pendidikan, kasus yang melibatkan guru, siswa, dan wali murid, terkait dengan teguran, tudingan, dan pendisiplinan yang berakhir di ranah hukum.
Merujuk pada pengertian teguran dan tudingan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), teguran adalah ucapan untuk mengajak bercakap-cakap. Sedangkan tudingan ialah arah (tunjukkan) jari (tongkat dan sebagainya) kepada seseorang karena marah. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa teguran biasanya mengarah ke hal positif, sementara tudingan mengarah pada sesuatu yang negatif.
Berbicara tentang teguran, bisa berupa teguran verbal atau teguran nonverbal. Teguran verbal yaitu teguran yang disampaikan secara lisan. Biasanya dilakukan dengan mengkritik, menegur, atau menasehati secara langsung. Misalnya, ada siswa yang terlambat masuk sekolah, guru langsung menegur dan menasehati agar esok tidak terlambat lagi.
Yang kedua adalah teguran nonverbal, di mana teguran ini mengambil langkah selain dengan lisan. Biasanya dengan ekspresi wajah, surat peringatan, tindakan seperti menjewer, mencubit, menampar, dan sebagainya sebagai bentuk hukuman ringan.
Misalnya, ada siswa yang merokok di lingkungan sekolah, guru menegur dengan tamparan atau cubitan dengan tujuan membuat siswa tersebut jera.
Baru-baru ini juga jagat maya diramaikan dengan kasus yang berhubungan dengan teguran dan tudingan. Seperti kasus Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Banten, yang dilaporkan wali murid terkait siswa ditampar karena merokok di sekolah (Kompas, 15/10/2025).
Sempat ramai pula kasus serupa yang terjadi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Seorang guru honorer SD 4 Baito, Supriyani dilaporkan oleh orang tua murid yang merupakan anggota kepolisian atas tuduhan penganiayaan pada April 2024. (Liputan 6, 31/10/2024)
Di tahun sebelumnya, juga publik dihebohkan dengan kasus memilukan yang dialami guru Zaharman, mata kanannya buta akibat diketapel wali murid karena menegur siswanya yang merokok saat jam pelajaran di belakang sekolah. (Kompas, 14/8/2023)
Tak hanya di Indonesia, ternyata kasus-kasus seperti ini juga terjadi di luar negeri. Di Jepang, guru mendapat kekerasan dari muridnya akibat ditegur karena bermain handphone di kelas. Di Amerika Serikat, wali murid menggugat guru karena siswa dihukum terkait pelanggaran kebijakan penggunaan AI (Artificial Intelligence) dalam mengerjakan tugas.
Di Korea, serikat guru menuduh wali murid melakukan kekerasan pada staf sekolah terkait mendisiplinkan anak yang merokok. (Detik, 10/4/2019)
Sungguh sangat memprihatinkan. Peradaban yang katanya serba canggih tetapi tidak sebanding dengan perilaku para generasinya. Terdapat beberapa faktor internal dan eksternal yang melatarbelakangi terjadinya kasus-kasus tersebut.
Pertama, faktor internal. Ada beberapa faktor internal dari dalam lingkungan sekolah. Adanya perbedaan pandangan tentang disiplin dan hukuman. Menurut guru, teguran baik berupa teguran verbal maupun nonverbal adalah bagian dari upaya mendisiplinkan murid dan memberikan efek jera. Sedangkan menurut siswa, teguran, terutama nonverbal, dianggap sebagai hukuman yang mengarah pada tindak kekerasan pada anak.
Perilaku siswa yang melanggar tata tertib, misalnya terlambat masuk sekolah, ramai di kelas, merokok, dan sebagainya, menjadi sebab adanya teguran dari guru sebagai tindakan pendisiplinan di lingkungan sekolah.
Kurangnya pemahaman guru mengenai teguran, terutama nonverbal, yang mengarah pada kekerasan yang terdapat dalam undang-undang. Serta keterbatasan kemampuan guru dalam mengelola emosi atau bersikap reaktif saat melihat siswanya melanggar tata tertib sekolah.
Menurunnya atau hilangnya rasa hormat pada guru di mata siswa dan wali murid. Serta adanya beban kerja yang tinggi, sehingga rentan emosi dalam menghadapi siswanya.
Kurangnya penanganan konflik internal di sekolah. Di mana guru, siswa, dan wali murid dipertemukan dalam suatu tempat untuk membahas masalah yang dihadapi tanpa harus berakhir di jalur hukum.
Sedangkan faktor eksternal dari luar lingkungan sekolah di antaranya adalah penerapan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA). UUPA membuat upaya pendisiplinan seringkali dianggap kekerasan. Meski tindakan seperti menjewer, mencubit, menampar, dan sebagainya tanpa menimbulkan bekas luka, dilakukan sebagai teguran untuk memberi efek jera.
Perubahan pola asuh wali murid, misalnya Helicopter Parenting. Di mana pola asuh wali murid yang terlalu terikat dan mengontrol anaknya, serta merasa bertanggung jawab penuh atas apa yang terjadi pada anaknya. Sehingga masalah sekolah yang harusnya bisa ditangani di sekolah, harus berakhir di ranah hukum.
Status sosial dan latar belakang wali murid seringkali membuat guru rentan bermasalah saat mendisiplinkan siswanya. Karena profesi guru dianggap lebih rendah atau tidak setara dengan wali murid.
Rendahnya perlindungan hukum bagi guru. Saat kasus di sekolah masuk ke ranah hukum, UU Guru dan Dosen yang seharusnya menjamin perlindungan profesi bagi guru, sering dinilai lemah dibandingkan UUPA (Undang-Undang Perlindungan Anak). Hal ini membuat guru rentan menjadi tersangka dalam kasus di sekolah.
Peran media sosial dan berita. Penyebaran kasus melalui media sosial membuat masalah kecil (yang bisa diselesaikan tanpa jalur hukum) menjadi masalah besar. Memperkeruh konflik tanpa memberikan solusi yang nyata.
Akan muncul pula dampak yang timbul akibat kasus-kasus tersebut. Bagi siswa, akan berdampak pada psikologis dan emosional siswa seperti trauma, hilangnya kepercayaan diri, dan yang paling parah bisa menyebabkan gangguan mental pada siswa.
Serta dampak akademis seperti menurunnya nilai siswa, menurunnya prestasi siswa, hilangnya semangat untuk bersekolah, dan bisa menyebabkan siswa ingin pindah sekolah karena merasa tidak aman atau tidak nyaman.
Bagi guru, konsekuensi karier sebagai guru seperti dimutasikan, dinonaktifkan, bahkan dipecat, menyebabkan guru stres dan merasa bersalah atau bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Nama baiknya sebagai pendidik menjadi buruk dan tercemar. Muncul rasa khawatir atau takut saat akan menegur siswanya yang melanggar tata tertib sekolah. Sehingga, terjadi pembiaran atau acuh pada siswanya.
Bagi sekolah, suasana sekolah menjadi tidak aman dan nyaman. Rusaknya nama baik sekolah, gangguan dalam proses belajar seperti aksi mogok sekolah, meningkatnya perilaku negatif dan pelanggaran dalam lingkungan sekolah.
Dampak dari kasus-kasus yang terjadi, baik di dalam maupun di luar negeri, tak lepas dari peran sistem pendidikan yang rusak saat ini. Sistem pendidikan sekuler di mana ilmu akademik dan ilmu agama dipisahkan dalam kehidupan. Sistem yang berbasis sekuler ini juga melahirkan pemimpin yang tidak tahu akar permasalahan, sehingga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat pragmatis tanpa solusi yang nyata.
Guru sebagai pendidik dibiarkan menanggung beban sendirian dalam mendidik siswa, memperbaiki akhlak, dan membuat tugas-tugas administratif yang tidak sesuai dengan upah yang didapat. Wali murid kehilangan kepercayaan pada guru, menyalahkan guru jika terjadi kesalahan dalam mendidik anak-anaknya, serta kurangnya kerjasama dalam membentuk kepribadian anak di luar lingkungan sekolah. Para siswa tumbuh tanpa tujuan mencari ilmu yang sesungguhnya, hanya fokus pada nilai (angka) tanpa memikirkan moral atau adab baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Islam Punya Solusi
Islam akan mampu memperbaiki sistem pendidikan yang rusak dari akarnya. Di mana akar masalah pendidikan di dunia saat ini adalah sistem pendidikan sekuler yang mengakibatkan orientasi spiritual dan moral pendidikan menjadi terhapus.
Pendidikan yang ada saat ini hanya memfokuskan pada kuantitas (nilai akademik, prestasi yang didapat) tanpa memperdulikan kualitas (mencetak generasi yang berilmu dan beradab atau bermoral).
Tujuan pendidikan sekuler bukan untuk mencerdaskan bangsa tapi untuk mencari pekerjaan (kepentingan individu). Sedangkan dalam sistem pendidikan Islam, tujuan pendidikan adalah mencetak generasi yang berkepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah), yakni yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islami. Generasi yang bukan hanya sekadar berilmu, tetapi beradab dan berakhlak mulia. Karena mengedepankan pembinaan sikap dan adab. Sehingga, ilmu yang didapat dapat diterapkan untuk mencari rida Allah ﷻ.
Seperti nasehat dari Imam Malik bin Anas:
تعَلَّمِ الأَدَبَ قَبْلَ أَنْ تَتَعَلَّمَ الْعِلْمَ
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.” (Diriwayatkan dalam kitab Hilyatul Auliya' oleh Abu Nu'aim dan Siyar A'lamin Nubala' oleh Adz-Dzahabi).
Ada pula hadits yang memberikan peringatan keras bagi mereka yang mencari ilmu bukan karena Allah, menunjukkan bahwa tujuan utama haruslah keridaan-Nya:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu yang dengannya dapat memperoleh keridhoan Allah Azza wa Jalla, (tetapi) ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan kesenangan duniawi, maka ia tidak akan mendapatkan harumnya surga di hari kiamat nanti.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, disahihkan oleh Al-Albani)
Dalam hal ini, peran negara sangat dibutuhkan. Negara sebagai pembuat kebijakan (termasuk tentang pendidikan) harus sesuai dengan syariat. Jika syariat diabaikan, maka akan terjadi kerusakan dan permasalahan yang berulang tanpa solusi hakiki.
Seperti dalam firman-Nya:
أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَـٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمًا لِّقَوۡمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS. Al-Maidah:50).
Kesimpulan
Hanya sistem pendidikan Islam lah yang bisa melahirkan generasi emas yang berilmu, beradab, dan berakhlak mulia. Serta bisa diterapkan demi kemaslahatan di dunia dan akhirat.
Wallahu a'lam bishshawab

0 Komentar