
Oleh: Deni Ummu Naura
Penulis Lepas
Program MBG (Makan Bergizi Gratis) adalah program unggulan pemerintah sebagai bentuk realisasi janji kampanye Presiden Prabowo Subianto pada Pemilu 2024. Program ini juga menjadi bagian dari Program Asacita Presiden, yang masuk dalam urutan pertama Program Hasil Terbaik Cepat. MBG ini merupakan program pemberian makanan bernutrisi gratis yang diperuntukkan bagi kelompok rentan, yaitu peserta didik, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita.
Tujuannya untuk meningkatkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) serta meningkatkan gizi dan konsentrasi belajar anak-anak Indonesia. MBG diharapkan mampu menjadi solusi atas permasalahan malnutrisi, mewujudkan generasi sehat, cerdas, dan produktif serta mampu bersaing dalam kompetisi global. Tujuan ini selaras dengan visi mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Selain itu, Program MBG juga memiliki tujuan meningkatkan perekonomian, khususnya dalam hal pemberdayaan UMKM dan ekonomi kerakyatan, baik skala lokal maupun nasional. (Kemenkeu, 17/02/2025).
Program Berpolemik
Namun sangat disayangkan, implementasi Program MBG tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya. Sejak Program MBG diluncurkan pada 6 Januari 2025, program ini dinilai menuai banyak sekali permasalahan. Di antaranya:
- Regulasi yang tidak matang serta tidak memiliki payung hukum yang jelas. Di mana program MBG ini dilaksanakan hanya berpegang pada Perpres No. 83 tahun 2024 tentang Pembentukan Badan Gizi Nasional (BGN) yang bertugas sebagai pelaksana pemenuhan gizi nasional, tanpa ada regulasi rinci tentang tata kelola yang jelas.
- Banyaknya dapur SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) yang tidak memenuhi standar higienis. Dari sekitar 13.347 SPPG yang telah beroperasi, hanya 640 SPPG saja yang memiliki SLHS (Sertifikat Laik Higiene Sanitasi). Itu artinya baru sekitar 4,8% SPPG yang memiliki SLHS.
- Makanan yang dihidangkan kerap kali tidak memenuhi standar gizi dan kebersihan.
- Serapan anggaran yang masih minim. Sampai dengan awal November 2025, serapan anggaran baru mencapai 35,6T atau sekitar 50,1%, padahal waktu yang tersisa untuk menghabiskan anggaran tinggal dua bulan.
- Potensi korupsi yang sangat besar. Dari pendekatan Corruption Risk Assessment (CRA) yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII), pelaksanaan Program MBG membuka tingginya ruang korupsi sistemik, akibat lemahnya tata kelola, konflik kepentingan, serta praktik pengadaan barang dan jasa yang tidak transparan.
- Dan yang paling membuat publik geram ialah banyaknya kasus keracunan yang terjadi setelah mengonsumsi MBG.
Menurut catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), jumlah korban keracunan MBG masih mengalami peningkatan secara signifikan hingga akhir Oktober 2025. Di mana kasus keracunan yang terjadi mencapai 16.109 korban, bahkan yang terakhir sampai melibatkan guru, orang tua, balita, serta ibu hamil. (Kompas, 6/11/2025)
Negara Abai
Sejak Program MBG diuji cobakan, kasus keracunan telah terjadi di sejumlah daerah. Di antaranya Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur pada bulan Oktober 2024. Dan setelah program diresmikan, kasus keracunan pun beruntun terjadi. Namun, pemerintah tidak bergeming, alih-alih mengevaluasi dan memperbaiki pelaksanaan program, mereka malah sibuk "cuci tangan" dan mencari kambing hitam.
Melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Pemerintah dan Badan Gizi Nasional sempat meminta maaf dan menyatakan bahwa kasus keracunan bukan hal yang diharapkan. Tapi sayangnya, setelah permintaan maaf tersebut, publik menilai tidak ada tindakan lebih lanjut lagi. Korban keracunan masih terus berjatuhan bahkan hingga saat ini. Upaya yang dilakukan pemerintah dinilai publik tidak mampu merubah keadaan. Sekalipun 12 menteri, wakil menteri, dan kepala BGN telah menggelar Rapat Koordinasi Terbatas, akan tetapi upaya tersebut hanya menghasilkan solusi pragmatis yang tidak menyentuh akar masalah.
Masalah Sistemik
Berharap pada negara untuk menyelesaikan problematika pada masa sekarang ibarat "pungguk merindukan bulan". Bagaimana tidak, segala sesuatu yang ada saat ini diukur dengan standar materi. Tidak terkecuali sikap negara pada rakyatnya. Penguasa hanya berperan sebagai regulator korporasi, bukan sebagai pelayan rakyat. Sehingga menjadikan seluruh kebijakan yang ditetapkan, bukan diperuntukkan bagi kemaslahatan umat, melainkan untuk kepentingan korporasi. Mustahil kebijakan akan memihak kepada rakyat jika hubungan penguasa dengan rakyat sebatas hubungan transaksional. Segala program yang ada, dianggap proyek/bisnis untuk meraih keuntungan, sehingga mengesampingkan keamanan dan keselamatan rakyat.
Tidak heran jika rakyat justru dijadikan tumbal berbagai program yang ada. Program populis berbalut kata "gratis" dicanangkan untuk meraih simpati rakyat. Padahal sejatinya seluruh program dibiayai dengan pajak, hasil memalak rakyat. Semua itu dilakukan demi mendulang suara terbanyak di pemilu berikutnya. Inilah akibat dari penerapan Sistem Kapitalis-Sekuler yang rusak lagi merusak. Sistem Kapitalisme-Sekuler telah gagal menjadikan Negara sebagai perisai bagi rakyat.
Sistem ini menciptakan kemiskinan terstruktur melalui penerapan Sistem Ekonomi liberal. Ialah biang keladi dari kesenjangan ekonomi yang semakin menganga. Yang kaya semakin kaya, yang miskin makin miskin. Buruknya sistem distribusi menjadikan akses harta hanya berputar di kalangan pemilik modal. Sedangkan untuk rakyat biasa hanya bisa pasrah menjadi budak-budak kapitalis yang digaji dengan harga murah. Selain itu, sistem ini juga menjadikan pajak dan utang luar negeri sebagai tulang punggung pemasukan negara, yang kian hari kian mencekik rakyat.
Selanjutnya, penerapan Sistem Politik Demokrasi yang berbiaya mahal juga mendukung lahirnya penguasa-penguasa korup, apatis, dan populis. Berbagai program dibuat hanya untuk pencitraan semata, bukan untuk melayani rakyat.
Berkaitan dengan program MBG, program ini hanyalah penyelesaian tambal sulam ala Sistem Kapitalisme. Masalah gizi dan nutrisi tidak pernah akan tuntas jika hanya mengandalkan pemberian makanan gratis. Sebab akar masalah krisis gizi dan nutrisi adalah kemiskinan ekstrem yang terjadi di seluruh pelosok negeri.
Melihat data BPS (Badan Pusat Statistik), tren angka kemiskinan nasional memang menurun. Tapi jika diteliti, garis ambang batas kemiskinan yang ditetapkan BPS sangat jauh dari ambang batas yang ditentukan oleh Bank Dunia. Untuk kategori miskin ekstrem saja, Bank Dunia menetapkan pendapatan per kapita minimal US$ 2,15, setara Rp 35.700/hari. Sedangkan ambang batas yang ditetapkan BPS masih di kisaran Rp 20.300/hari. Tidak heran jika tren angka kemiskinan menurut BPS bisa menurun. Akan tetapi tren tersebut menyelisihi kondisi riil di lapangan.
Solusi Hakiki
Berbeda halnya dengan Islam. Islam bukan sekadar agama, tapi ia adalah mabda yang memiliki aturan kehidupan yang komprehensif. Dalam masalah gizi dan nutrisi, Islam memiliki mekanisme sempurna untuk mengatasi masalah ini.
Pertama, negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyat dengan gaji yang layak. Sebab akar masalah akses pangan berkaitan dengan pendapatan yang memadai, sehingga setiap keluarga bisa mengakses makanan halal dan toyyiban untuk mencukupi kebutuhan gizi dan nutrisi keluarga.
Kedua, menetapkan setiap kepala keluarga atau laki-laki yang baligh untuk bekerja sesuai dengan tuntunan syariat. Jika tidak mampu, maka keluarga dan kerabat akan membantu. Jika tidak memiliki kerabat, maka nafkahnya ditanggung oleh negara.
Ketiga, masalah gizi dan nutrisi erat kaitannya dengan problem kemiskinan, dan kemiskinan erat kaitannya dengan masalah pendidikan. Maka negara dalam sistem Islam akan menjamin akses pendidikan murah atau bahkan gratis bagi seluruh rakyatnya hingga ke perguruan tinggi.
Keempat, dengan penerapan sistem ekonomi Islam yang mengatur masalah kepemilikan. Salah satunya kepemilikan umum yang meliputi pengelolaan sumber daya alam sebagai salah satu pos pemasukan negara. Untuk bisa mengelola SDA secara mandiri, negara Islam membutuhkan serapan tenaga kerja yang tinggi. Sehingga negara akan mampu membuka lapangan pekerjaan yang luas lagi layak bagi rakyat. Kemudian dari pengelolaan SDA ini, negara akan memiliki pemasukan yang melimpah untuk membiayai pendidikan berkualitas berikut dengan fasilitas transportasi atau bahkan makan siang gratis bagi peserta didik maupun tenaga pendidik. Dengan ini rakyat akan terbebas dari masalah pendidikan dan SDM rendah, sehingga bisa memperbaiki kondisi keluarga.
Kelima, penerapan sistem politik Islam akan mencetak para pemimpin negara Islam yang amanah dan bertanggung jawab. Sebab dalam Islam, pemimpin adalah ra'in yang wajib menjaga, melindungi, dan memelihara rakyatnya. Beban kepemimpinan di dalam Islam akan dipertanggungjawabkan hingga ke akhirat, sehingga menjadi pemimpin dalam sistem Islam artinya memikul tanggung jawab yang sangat berat.
Jadi, jaminan ketersediaan pangan bergizi serta kemudahan aksesnya hanya bisa terwujud manakala sistem Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai Khilafah.
Allah ﷻ berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرٰى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
"Seandainya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan." (Q.S. Al-A'raf:96)
Selain itu, menerapkan Islam secara kaffah bukan semata-mata disebabkan aspek maslahat yang besar, tapi ini merupakan kewajiban yang Allah ﷻ perintahkan.
Wallahu a'lam bishshawab

0 Komentar