BAHAYA PERUSAKAN ALAM DALAM SISTEM KAPITALIS DEMOKRASI


Oleh: Hilwa Zulfatunnisa
Santriwati PPTQ Darul Bayan, Sumedang

Banjir besar melanda tiga provinsi di Pulau Sumatra, yaitu Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara. Data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mencatat korban bencana di Sumatra sebanyak 961 orang meninggal dan 293 orang hilang (Detik, 08/12/2025).

Penyebab banjir ini bukan hanya karena faktor alam, curah hujan yang ekstrem, atau sekadar ujian semata. Menurut dosen Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Dr. Annisa Trisnia Sasmi, S.Si., M.T., sebagian besar area yang terdampak itu termasuk daerah yang jauh dari pegunungan.

Selain itu, kondisi jenis tanah di beberapa lokasi yang didominasi material lempung yang sulit menyerap air, menyebabkan ketika hujan berlangsung lama, tanah menjadi jenuh dan air beralih menjadi limpasan permukaan (runoff).

Dalam kondisi ideal, sebagian besar air hujan akan meresap (infiltrasi), dan sisanya dialirkan sungai. Namun, kondisi aliran sungai ini diperparah dengan perluasan perkebunan sawit, penambangan, pendirian pemukiman di bantaran sungai, serta pembangunan infrastruktur pada zona rawan longsor, yang juga telah menghilangkan fungsi hutan sebagai penyangga air dan penstabil tanah (UMS, 04/12/2025).

Dampak dari kejahatan lingkungan yang telah berlangsung lama dan dilegitimasi kebijakan penguasa, seperti pemberian hak konsesi lahan, obral izin perusahaan sawit, izin tambang terbuka, tambang untuk ormas, UU Minerba, UU Ciptaker, dll., kombinasi perubahan penggunaan lahan inilah yang membuat bencana tidak hanya terjadi, tetapi juga meluas dan merugikan.

Musibah banjir dan longsor di Sumatra memperlihatkan bahaya nyata akibat kerusakan lingkungan, terlebih dengan pembukaan hutan besar-besaran tanpa memperhitungkan dampaknya. Sikap penguasa dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme seperti ini, yang mengambil keputusan hanya semata-mata demi keuntungan, sambil mengabaikan dampak kerusakan alam dan bencana yang menimpa masyarakat, menunjukkan bahwa penguasa dan pengusaha bekerja sama untuk menjarah hak milik rakyat.

Inilah efek dari negara yang meninggalkan hukum Allah atau sistem Islam dalam pengelolaan lingkungan masyarakat, sebuah sistem rusak yang sangat keji yang melahirkan para pengusaha zalim.

Sebagai seorang Muslim yang beriman, hati dan pikiran kita harus mengikuti pandangan Islam dalam menghadapi masalah dan menyikapi musibah. Kita wajib meyakini bahwa semua yang terjadi merupakan ketetapan Allah. Allah ﷻ juga memerintahkan setiap Muslim untuk bersabar dalam menghadapi setiap musibah dan memasrahkan semuanya kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَـٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌۭ قَالُوا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ
"(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata 'Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji'ūn' (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali)."

أُو۟لَـٰٓئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَٰتٌۭ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌۭ ۖ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُهْتَدُونَ
"Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk" (QS. Al-Baqarah: 156-157).

Bukan hanya beriman dan bersabar, Islam juga mengajarkan umatnya untuk senantiasa melakukan muhasabah, karena ada musibah yang datang sebagai akibat dari tindakan mungkar manusia.

Dalam syariat Islam, tambang dan hutan adalah milik umum, milik negara yang dikelola juga oleh negara, dan seluruh hasil serta manfaat dari pertambangan dan hutan adalah milik rakyat, bukan hak milik pribadi. Syariat Islam memperbolehkan pembukaan berbagai jenis tambang yang dikelola oleh negara seperti minerba dan migas.

Islam juga mengatur kebolehan pengelolaan hasil hutan untuk kemaslahatan rakyat, akan tetapi Islam juga mengharamkan dharar (bahaya) yang menimpa masyarakat. Karena itu, penambangan dan penebangan hutan secara asal dan ugal-ugalan adalah tindakan yang haram dan sepatutnya dicegah. Dalam Islam, negara (khilafah) akan melakukan pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan syariat Islam atas dasar dorongan iman dan takwa, bukan berdasarkan kebijakan kapitalistik semata demi mengeruk keuntungan.

Khilafah juga boleh melakukan pemindahan kawasan pemukiman jika dinilai penting demi keselamatan dan keamanan warga. Untuk itu, khilafah akan memberikan lahan pemukiman yang layak serta membangun berbagai infrastruktur untuk penduduk. Khilafah juga berkewajiban untuk melakukan gerakan reboisasi untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Semua ini adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh khalifah dan pejabatnya. Rasulullah ﷺ bersabda:

فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ
"Amir (Khalifah) yang mengurus banyak orang adalah pemimpin dan akan ditanya tentang mereka." (HR. Al-Bukhari)

Hanya dengan hukum Allah, negara dapat meminimalisir terjadinya banjir dan longsor yang menyengsarakan rakyat. Khalifah sebagai pemegang mandat dari Allah akan fokus agar setiap kebijakannya mengutamakan keselamatan umat manusia dan lingkungan dari dharar. Khalifah akan merancang blue print tata ruang secara menyeluruh, melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya, tempat tinggal dengan semua daya dukungnya, industri, tambang, dan himmah.

Bencana besar kali ini seharusnya mendorong penguasa negeri ini untuk mengevaluasi seluruh kebijakan kapitalistiknya yang terbukti merugikan rakyat banyak. Bangsa ini sudah seharusnya mendesak penguasa agar meninggalkan segala kebijakan kapitalistik dan beralih kepada kebijakan yang sesuai dengan tuntunan syariat Islam, karena itu upaya penerapan syariat Islam oleh negara secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan menjadi sangat penting. Inilah yang juga dulu dipraktikkan sepanjang era kekhilafahan Islam selama berabad-abad lamanya.

Posting Komentar

0 Komentar