
Oleh: Dewi Ummu Alisna
Penulis Lepas
Turunnya hujan adalah rahmat. Ia adalah bagian dari mekanisme alam yang Allah tetapkan untuk memberikan kehidupan. Namun, di berbagai daerah, hujan kini menjadi awal dari kepiluan. Banjir menerjang, tanah longsor menimbun permukiman, sementara angin kencang merobohkan rumah dan fasilitas umum. Dalam beberapa hari terakhir, bencana terjadi hampir bersamaan di sejumlah wilayah Indonesia. Korban terluka, hilang, bahkan meninggal; banyak yang belum dapat dievakuasi karena cuaca buruk, medan yang ekstrem, dan keterbatasan personel BNPB maupun BPBD.
Seperti yang terjadi di tiga wilayah di Provinsi Sumatera Tengah, yang dikepung banjir hingga angin puting beliung selama dua hari. Angin puting beliung, banjir, dan abrasi pantai dilaporkan terjadi di Kabupaten Tolitolo, Morowali Utara, dan Buol. Menurut laporan Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Sulawesi Tengah, Akris Fattah Yunus, seluruh laporan dari tiga wilayah tersebut sedang ditangani. (CNN Indonesia, 23/11/2025)
Sebelum terjadi bencana di wilayah Sumatera, telah lebih dulu terjadi bencana tanah longsor di Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Cilacap dan Banjarnegara. Di Cilacap, longsor terjadi di Desa Cibeunying, Kecamatan Majenang, Kamis (13/11/2025). Sampai Selasa (18/11/2025), Tim SAR Gabungan telah mengevakuasi 16 korban tewas dan masih mencari 7 korban tertimbun longsor. Di Banjarnegara, longsor terjadi di Desa Pandanarum, Kecamatan Pandanarum, Minggu (16/11/2025). Data menyebutkan, dua orang meninggal dunia dan 800 orang mengungsi. (Mongabay, 19/11/2025)
Kita menyaksikan kejadian bencana seperti ini hampir setiap tahun. Lalu, setiap tahun pula kita harus mengulang pertanyaan yang sama: Mengapa bencana terus berulang, dan mengapa penanganannya selalu lamban?
Bencana: Antara Fenomena Alam dan Kesalahan Tata Kelola
Memang benar bahwa hujan, gempa, atau angin adalah ketetapan Allah. Tetapi, dampaknya yang besar, kerusakan yang meluas, serta jatuhnya korban hingga ratusan jiwa tidak bisa dilepaskan dari ulah tangan manusia. Allah telah mengingatkan hal ini secara tegas:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatannya, agar mereka kembali." (QS. Ar-Rum: 41)
Kerusakan bukan semata-mata karena alam, tetapi muncul karena tata ruang yang semrawut, penggundulan hutan, alih fungsi lahan untuk industri dan pertambangan, serta maraknya izin tambang dan perkebunan yang merusak ekosistem alam.
Negara mempunyai peran sentral dalam setiap proses itu semua. Sebab, tanpa tanda tangan pemerintah, tidak akan ada pembukaan hutan, pembangunan masif di kawasan rawan, maupun pengerukan sumber daya alam secara besar-besaran. Kerusakan ekologis kita adalah potret gagalnya kebijakan tata ruang.
Setiap bencana yang terjadi, berita yang muncul siklusnya hampir sama. Di antaranya: tim evakuasi kesulitan, akses jalan putus, alat berat terbatas, logistik tidak memadai, dan korban yang belum ditemukan karena cuaca buruk. Jika hal demikian hanya terjadi sekali, mungkin bisa dimaklumi. Tetapi kenyataannya, ini terjadi berkali-kali dan berulang dengan pola yang sama, di tempat yang berbeda, dalam waktu yang berdekatan. Ini bukan lagi kejadian insidental, tetapi tanda bahwa sistem mitigasinya memang lemah dan tidak komprehensif.
Memahami Mitigasi Bencana
Mitigasi bencana adalah serangkaian tindakan atau upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak negatif dari bencana terhadap manusia, lingkungan, maupun aset. Mitigasi sendiri dilakukan sebelum bencana terjadi sebagai upaya preventif untuk meminimalisir kerugian.
Tujuan pelaksanaan mitigasi bencana adalah untuk mengurangi kerugian jiwa dan harta, meningkatkan ketahanan masyarakat, mengurangi dampak lingkungan, serta beban pemulihan. Yang menyedihkan, sistem mitigasi sering dianggap proyek formal.
Padahal, di dalam Islam, pengelolaan mitigasi bencana adalah bagian dari tanggung jawab manusia terhadap alam dan makhluk lainnya.
Pandangan Islam: Bencana Dilihat dari Dua Dimensi
Islam membimbing umat untuk memandang bencana dari dua sisi sekaligus, bukan hanya spiritual, bukan hanya teknis, tetapi menyeluruh.
Yang pertama, dimensi ruhiyah (keimanan). Bencana adalah tanda kekuasaan Allah. Ini adalah peringatan agar manusia kembali kepada Sang Pencipta-Nya, Rabb-Nya, memperbaiki hubungan dengan Allah, serta meninggalkan segala kemaksiatan dan perbuatan yang merusak.
Kerusakan lingkungan bukan tanpa sebab. Bahkan, Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa di antara sebab datangnya musibah adalah kedzaliman dan kerusakan yang dilakukan oleh manusia di muka bumi.
Dimensi ruhiyah mengajarkan kita untuk memahami bahwa alam bukan benda netral tanpa aturan. Alam tunduk pada Sunnatullah. Jika manusia merusaknya, maka kerusakan itu akan berbalik mencelakai manusia itu sendiri.
Yang kedua, dimensi siyasiyah (pengaturan negara). Bencana memiliki konsekuensi politik, bagaimana negara mengelola ruang hidup rakyatnya. Islam memandang negara sebagai pihak yang memikul amanah besar, yakni menjaga jiwa, harta, kehormatan, dan keamanan rakyat. Ketika kebijakan negara salah arah, lebih berpihak kepada kepentingan investasi dan industri daripada keselamatan rakyat, maka bencana longsor, banjir bandang, dan puting beliung akan senantiasa datang berulang.
Negara wajib memiliki tata ruang yang sesuai dengan syariat, sistem mitigasi jangka panjang, teknologi peringatan dini modern, kekuatan tim SAR yang memadai dan profesional, kontrol terhadap eksploitasi lahan, dan pengawasan ketat atas perusahaan tambang dan perkebunan. Tanpa semua itu, rakyat akan selalu menanggung akibat dari kelalaian penguasa.
Bencana adalah Amanah Negara, Bukan Sekadar Tugas Relawan
Di dalam Islam, pengurusan bencana bukan dilepas ke tangan relawan semata. Negara wajib hadir sebagai institusi yang melindungi, mengantisipasi, menanggulangi, dan memulihkan. Bukan hanya saat bencana terjadi, tetapi jauh sebelumnya. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa imam (khalifah) adalah ra'in yang bertanggung jawab atas rakyatnya.
Ini berarti negara wajib memetakan wilayah rawan, membangun infrastruktur penahan bencana, melestarikan hutan dan mengatur penggunaan lahan, melarang praktik ekologi, mempersiapkan tim khusus bencana secara profesional, dan menyediakan anggaran yang cukup tanpa hutang atau korupsi.
Saat bencana terjadi, negara harus melakukan evaluasi cepat, menyediakan tempat pengungsian yang layak, memastikan makanan, air, obat-obatan, layanan kesehatan, hingga pendampingan psikologis. Setelah itu, negara harus memastikan korban dapat hidup normal kembali dan terpulihkan sepenuhnya.
Sejarah Islam Membuktikan: Negara Bisa Sangat Serius dalam Mitigasi
Dalam banyak catatan sejarah, para khalifah sangat memperhatikan aspek keselamatan rakyat. Contohnya, Umar bin Khattab melakukan inspeksi wilayah rawan bencana. Baitul Mal mengalokasikan dana cadangan khusus untuk keadaan darurat. Negara membangun infrastruktur penahan banjir dan tata air. Saat paceklik atau gempa, khalifah turun langsung mengatur distribusi bantuan. Islam bukan hanya mengajarkan doa, tapi juga sistem.
Penutup: Bencana Akan Terus Berulang Jika Tata Kelola Tidak Dibenahi
Memang benar Islam mengajarkan untuk berdoa, bersabar, dan mengambil hikmah. Namun, itu tidak cukup. Jika akar masalahnya adalah kerusakan lingkungan, tata ruang yang buruk, kebijakan yang tunduk pada kepentingan para elite kapitalis, tidak adanya mitigasi komprehensif, serta lemahnya komitmen negara melindungi rakyat, maka dapat dipastikan bencana akan terus datang dari tahun ke tahun dengan pola yang sama.
Islam memberikan cara pandang jernih dan solusi menyeluruh: memulihkan hubungan ruhiyah dengan Allah, memperbaiki perilaku terhadap alam, dan menegakkan sistem aturan kehidupan yang benar dalam mengurus kepengurusan rakyat serta menjaga bumi yang Allah amanahkan.
Sudah waktunya kita kembali kepada solusi Islam yang komprehensif. Saat bencana membuat kita menangis dan meratap, Islam mengajak kita untuk bangkit dan memperbaiki, mulai dari individu, masyarakat, hingga sistem pengaturan tata kelola negeri.
Sungguh, Islam adalah solusi problem kehidupan, sekaligus jalan menuju keselamatan. Tak hanya menyelamatkan dari bencana di dunia, tetapi juga bencana yang berat di akhirat kelak.
Wallahu A'lam Bisshawab

0 Komentar