
Oleh: Gesti Ghassani / @gegeyys
Penulis Lepas
Menjelang akhir tahun, bencana datang bertubi-tubi. Banjir merendam rumah, longsor merenggut nyawa, angin kencang menyapu pemukiman. Dari Medan hingga Banjarnegara, banyak korban belum terevakuasi karena hujan ekstrem, medan yang sulit, dan tim yang terbatas. Setiap kali musibah terjadi, kita seolah terkejut, padahal pola ini terus berulang (Media Indonesia, 15/11/2025).
Di balik deretan tragedi itu, ada kenyataan pahit yang jarang benar-benar kita hadapi: tata kelola lingkungan negeri ini sudah rusak parah. Ekspansi sawit dan pertambangan terus diizinkan merangsek ke kawasan hutan, menggantikan penyangga alam yang selama ini menahan air, menjaga tanah tetap stabil, dan melindungi kehidupan di sekitarnya.
Ironinya, negara tetap memberi ruang bagi ekspansi ini, bahkan ketika risiko ekologisnya sudah nyata dan kritik muncul. Jawaban seorang pejabat bahwa “sawit juga pohon” terasa meremehkan fakta ekologis yang kompleks (Suara, 05/12/2025).
Padahal, persoalannya bukan sekadar jenis pohon, melainkan untuk siapa pohon itu ditanam?
Mayoritas sawit Indonesia bukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, tetapi untuk ekspor dalam bentuk CPO dan turunannya. Kerusakan hutannya kita yang tanggung, tetapi keuntungan besarnya mengalir ke luar negeri.
Kita bahkan pernah kekurangan minyak goreng di negeri produsen sawit, sementara ekspor tetap berjalan mulus. Ini menunjukkan bahwa kebijakan sawit lebih tunduk pada pasar global daripada pada kedaulatan pangan rakyat sendiri.
Padahal, jutaan tenaga kerja bisa diarahkan pada sektor yang justru memperkuat negara: penjaga hutan, restorasi gambut, agroforestri, dan ekonomi hijau. Hutan bisa menjadi sumber lapangan kerja yang luas, bukan dihancurkan demi keuntungan cepat yang akhirnya menyisakan penderitaan jangka panjang. Inilah wajah ekonomi ekstraktif: mengambil sebanyak-banyaknya, lalu membiarkan rakyat menanggung risikonya.
Penanaman sawit berskala besar terbukti mempercepat kerusakan alam. Pembukaan hutan dengan menebang atau membakar gambut menghancurkan ekosistem yang selama ini menjadi penyangga air.
Ketika hutan diganti kebun sawit monokultur, keanekaragaman hayati hilang, tanah kehilangan daya serap, dan kawasan sekitar lebih rentan banjir serta longsor.
Dalam perspektif Islam, bencana memiliki dua sisi: ruhiyah dan siyasiyah. Ruhiyah mengingatkan kita bahwa kerusakan di bumi sering lahir dari ulah manusia. Sementara sisi siyasiyah menuntut negara menjaga ruang hidup rakyat, mengatur tata kelola alam, dan mencegah kerusakan yang membahayakan masyarakat. Perusakan lingkungan adalah dosa sosial dan negara wajib menghentikan sebab-sebabnya.
Di sinilah relevansi tata kelola ala syariat yang dikenal dalam fikih siyasah sebagai khilafah. Sistem ini menempatkan keselamatan jiwa, kelestarian alam, dan keadilan distribusi kekayaan sebagai kewajiban utama.
Hutan dan kekayaan alam adalah milik umum, tidak boleh dikuasai korporasi atau diorientasikan semata untuk ekspor. Negara wajib memastikan pengelolaan yang adil, pencegahan bencana yang menyeluruh, evakuasi cepat, dan pemulihan yang bermartabat.
Akhirnya, krisis ekologis Indonesia tidak akan selesai dengan tambal sulam kebijakan atau pernyataan politis yang meremehkan akal sehat ekologis. Kita butuh perubahan paradigma, dari mengejar devisa jangka pendek menuju memandang lingkungan sebagai amanah Allah. Kita butuh negara yang menempatkan keselamatan rakyat di atas kepentingan industri.
Selama hal itu belum berubah, bencana akan terus datang, mengoyak ruang hidup kita, meninggalkan luka-luka baru yang belum tentu sempat kita sembuhkan.

0 Komentar