
Oleh: Ummu Anjaly, S.K.M
Penulis Lepas
Kasus dugaan pencabulan terhadap lebih dari 30 santriwati di Pondok Pesantren Nurul Karomah, Galis, Bangkalan kembali membuka mata publik tentang rapuhnya perlindungan moral di lembaga pendidikan Islam. Peristiwa yang diduga dilakukan oleh guru mengaji berinisial UF, sekaligus anak tokoh agama setempat, terjadi sejak Januari 2023 dan kini tengah diselidiki oleh Polda Jawa Timur berdasarkan laporan resmi pada 1 Desember 2025.
Kasus ini mencuat setelah salah satu korban berhasil melarikan diri dan memberikan kesaksian yang kemudian viral di media sosial. Publik pun bereaksi keras dan mendesak agar pelaku dihukum setimpal (Batampos, 09/12/2025).
Tamparan Keras untuk Pesantren
Peristiwa ini merupakan tamparan keras bagi dunia pesantren. Pesantren semestinya menjadi lingkungan paling aman bagi anak-anak Muslim untuk menuntut ilmu, memperbaiki akhlak, dan membangun kepribadian bertakwa.
Ketika oknum pengasuh justru memanfaatkan kepercayaan dan kekuasaan untuk merusak kehormatan santri, hal itu bukan hanya tindakan kriminal, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap amanah ilmu dan syariat. Ironisnya, kasus-kasus seperti ini sering ditutupi dengan alasan menjaga nama baik lembaga. Padahal, sejatinya yang memalukan adalah kejahatan itu sendiri, bukan pengungkapan faktanya.
Kasus pencabulan di pesantren bukan yang pertama kali terjadi. Sederet kasus serupa sebelumnya juga menimpa santri di berbagai wilayah Indonesia. Hal ini memukul perasaan umat Islam karena lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi benteng kehormatan justru berubah menjadi ruang rawan predator seksual.
Akar Persoalan
Akar persoalan sebenarnya bukan pada lembaga pesantren, melainkan pada kerusakan moral akibat dominasi pemikiran sekuler-liberal yang memisahkan agama dari kehidupan. Konsep pergaulan Islam yang telah ditetapkan secara sempurna oleh syariat diabaikan, hingga masyarakat merasa bebas menentukan standar moral berdasarkan hawa nafsu dan akal manusia yang terbatas.
Kerusakan moral juga diperparah oleh sistem kapitalisme yang berorientasi materi. Konten tidak bermoral hingga pornografi bebas berseliweran di media informasi, memantik fantasi liar yang menjadi awal terjadinya perzinaan dan kejahatan seksual. Di sisi lain, hukum yang lemah menjadikan pelaku tidak jera dan kasus terus berulang tanpa penyelesaian tuntas.
Solusi Islam
Islam memandang kejahatan seksual sebagai dosa besar dan pelanggaran terhadap tujuan syariat dalam menjaga kehormatan (hifzhul ‘irdh). Allah ﷻ berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
Islam menetapkan hukuman tegas bagi pelaku zina sebagaimana firman Allah:
اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera …” (QS. An-Nur: 2)
Dalam Islam, pelaku pemerkosaan dikenai had zina, yaitu rajam bagi yang sudah menikah, atau cambuk seratus kali bagi yang belum menikah. Selain itu, pelaku wajib membayar kompensasi kepada korban dan dapat dikenai takzir jika disertai pemaksaan. Sanksi dijalankan secara terbuka agar menjadi pelajaran dan mencegah berulangnya kejahatan di masyarakat (jawazir).
Ini menunjukkan bahwa Islam tidak pernah memberi ruang bagi pelaku kejahatan seksual untuk berlindung di balik status sosial, jabatan, atau gelar keagamaan. Namun, seluruh sanksi tersebut hanya dapat diterapkan oleh negara yang berdiri di atas syariat Islam secara menyeluruh.
Islam tidak hanya menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga menutup setiap celah yang dapat memicu terjadinya kriminalitas. Sistem pendidikan yang dibangun di atas akidah akan melahirkan generasi bertakwa dan berintegritas. Kurikulum serta pendanaan harus bersih dari intervensi asing yang merusak arah pendidikan umat, sementara akses media yang merusak moral masyarakat wajib ditutup. Negara berperan sebagai penjaga dan pelindung, bukan sekadar hakim setelah kasus terjadi.
Dalam Islam, keamanan diwujudkan melalui penataan sistem pendidikan yang berbasis takwa, pemilihan pendidik yang terpercaya, mekanisme kontrol masyarakat yang efektif, dan lingkungan belajar yang aman. Negara melakukan pengawasan dan pencegahan sekaligus penegakan hukum syariat yang tegas agar memberikan efek jera. Dengan cara ini, peluang terjadinya kejahatan dapat ditutup sejak awal.
Inilah jaminan perlindungan hakiki bagi perempuan, anak-anak, dan seluruh warga: sebuah sistem yang menyelesaikan akar masalah, bukan sekadar merespons saat tragedi sudah terjadi.
Penutup
Kasus pencabulan di pesantren adalah bukti nyata gagalnya sistem hukum sekuler-liberal dalam melindungi kehormatan manusia. Umat Islam tidak boleh diam atau hanya berharap pada proses hukum yang lemah dan mudah dipengaruhi kekuasaan.
Sudah saatnya menuntut perubahan mendasar, yaitu kembali kepada sistem Islam yang menjadikan ketakwaan sebagai landasan, masyarakat sebagai pengawas, dan negara sebagai penegak hukum syariat yang tidak pandang bulu.
Hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, pesantren akan kembali menjadi tempat suci yang melahirkan generasi berakhlak mulia, pelaku kejahatan jera, dan kehormatan umat terlindungi.

0 Komentar