
Oleh: Rini Fahmi Al Fauziah
Penulis Lepas
Di tengah himpitan ekonomi yang semakin mencekik masyarakat, kasus Judol alias judi online justru semakin membabi buta. Adanya kemajuan teknologi dan akses internet yang semakin luas, membuat judi online ini dapat dijangkau oleh siapa saja, bahkan remaja di kalangan pelajar.
Data menyebutkan bahwa anak dan remaja yang bermain judi online mencapai 197.000 orang, dengan nilai transaksi mencapai Rp 293 miliar. PPATK juga mengungkapkan ada lebih dari 4.500 anak usia 11-16 tahun yang bermain judi online, dengan nilai transaksinya mencapai Rp 7,9 miliar. Sementara itu, di usia 17-19 tahun, tercatat 191.000 orang dengan nilai transaksi Rp 282 miliar (Kompas, 26/07/2024).
Himpitan ekonomi yang lahir dari sistem kapitalisme mendorong sebagian anak muda terjerumus ke dalam Judol dan pinjol sebagai jalan pintas dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan finansial, gaya hidup, tekanan sosial, hedonisme, kebutuhan gadget, dan biaya sekolah. Gaya hidup yang tinggi menyebabkan kasus Judol ini kian menjamur di masyarakat, terkhusus di kalangan remaja. Bahkan, 58% Gen Z menggunakan pinjol untuk kebutuhan gaya hidup dan hiburan.
Menanggapi hal itu, KPAI merekomendasikan agar satuan pendidikan dapat menangani jika anak yang terlibat judi online berpotensi menjadi anak yang berhadapan dengan hukum.
Namun, jika dicermati, saran yang dikemukakan KPAI sangatlah tidak menghasilkan solusi yang menyeluruh, karena mengingat sistem yang dianut negara ini adalah sekuler (kebebasan) dan kapitalis (berasaskan materi), anak-anak dan remaja justru akan berpegang pada prinsip yang dianut negara dan mereka sendiri dengan alasan "Mereka butuh."
Ruang digital yang dikuasai logika kapitalisme menjadikan platform (lewat algoritmanya) berfokus pada kebiasaan pengguna, bukan pada keselamatan, karena sistem kapitalis ini menjadikan generasi sebagai pasar untuk penjualan situs-situs judi online.
Lain cerita, jika sudut pandang yang digunakan untuk mengatasi Judol dan pinjol pada remaja adalah sudut pandang Islam. Dalam Islam, baik remaja maupun dewasa sudah memiliki tujuan hidup yang terarah dan ditanamkan sejak dini, yaitu beribadah kepada Sang Khalik, Allah ﷻ, sebagai Sang Pencipta manusia. Karena umat Islam meyakini bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara dan setiap pilihan hidupnya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ﷻ di hari akhir kelak.
Menghadapi hal ini, Islam mengharamkan segala bentuk perbuatan yang berhubungan dengan riba, termasuk dalam kasus pinjaman online. Allah ﷻ telah menjelaskannya dalam Al-Qur'an, yaitu dalam surat Ali Imran ayat 130:
يَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأۡكُلُوا۟ ٱلرِّبَوٰۤا۟ أَضۡعَـٰفࣰا مُّضَـٰعَفَةࣰۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung." (QS. Ali Imran: 130).
Ayat ini menegaskan bahwa riba itu haram secara mutlak, baik dalam jumlah yang kecil maupun besar.
Kita seharusnya membuka mata dan menyadari bahwa keadaan seperti ini tidak semestinya terus menerus terjadi di tengah masyarakat. Bahkan, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk langsung turun tangan dalam menyelesaikan permasalahan ini, antara lain dengan memberantas dan memblokir situs-situs judi online.
Hilangnya peran negara sebagai pelindung bagi masyarakatnya membuat masalah ini semakin parah. Oleh karena itu, harus ada solusi yang dapat mengupas tuntas hingga akar permasalahan.
Sebagai seorang Muslim, rasanya hopeless sekali jika harus terus menerus berharap pada sistem sekuler-kapitalis yang rusak ini. Sistem yang hanya mengandalkan roda busuk sebagai pijakan, sehingga sehebat apapun pengendaranya tidak akan mampu membawa roda tersebut ke dalam gerbang kemenangan. Dalam Islam, tidak hanya mengatur aspek ritual, masyarakat senantiasa digiring untuk mengetahui halal-haram, karena Islam menjadikan standar hidup kita adalah hanya untuk meraih ridha Allah ﷻ, bukan untuk melakukan kesenangan-kesenangan yang fana.
Adapun Islam adalah agama yang telah terbukti eksistensinya selama belasan abad lamanya dan menjadi negara terbesar yang menguasai 2/3 dunia. Islam juga merupakan agama yang mengatur seluruh problematika mendasar kehidupan. Bahkan, sejarah mencatat bahwa pada saat kegemilangannya, hanya ada kurang lebih 200 kejahatan kriminal yang terjadi dalam 1.300 tahun lamanya. Hal ini patut untuk kita sadari dan renungi bahwa agama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad merupakan agama yang sempurna, sesuai dengan fitrah manusia. Sudah saatnya kita mengembalikan keberadaan Islam di bawah naungan Khilafah 'ala Minhaajjin Nubuwwah.
Wallahu a'lam bish-shawab.

0 Komentar