
Oleh: Chaleedarifa
Penulis Lepas
Pemerintah kembali merilis aturan baru bernama PP Tunas untuk Lindungi Anak di Ruang Digital. Aturannya tampak tegas, serba cepat, dan seolah menjadi jawaban atas maraknya paparan pornografi, cyberbullying, dan gaya hidup liberal yang merusak mental anak dan remaja. Namun, di balik keramaian publikasi, ada pertanyaan besar yang tak pernah dijawab: benarkah kebijakan ini mampu menuntaskan akar persoalan? Ataukah hanya tambal sulam yang menutupi kegagalan negara dalam menghadirkan sistem yang sehat bagi generasi?
Hari ini, kita menyaksikan anak-anak menenggelamkan diri dalam distraksi digital, mengalami depresi, bahkan melakukan bunuh diri ketika dihantam tekanan hidup. Fakta-fakta ini tidak bisa dipungkiri. Namun, ada kekeliruan fatal ketika ruang digital dijadikan kambing hitam utama. Media sosial memang memperbesar efek, tetapi ia tidak membentuk akar. Ia bukan sebab, hanya saluran.
Yang membuat anak rapuh adalah lingkungan nilai sekularisme yang sudah lama dijadikan nafas utama negeri ini: kebebasan tanpa kendali, orientasi hidup materialistik, dan minimnya keteladanan moral. Sistem kapitalisme memperlakukan manusia layaknya konsumen, termasuk anak-anak. Maka, wajar jika industri digital menjadikan mereka target pasar raksasa tanpa memedulikan dampak jangka panjang.
Di tengah akar persoalan yang begitu dalam, pemerintah memilih solusi yang paling mudah, membatasi akses. Mudah, murah, dan politis. Tetapi sayangnya, tidak menyelesaikan apa-apa.
PP Tunas hanya mengatur pintu masuk konten, bukan membangun daya tahan anak. Ia cuma menata pagar, padahal rumahnya sendiri retak. Pemerintah tidak menyentuh persoalan fundamental: hilangnya nilai iman dan moral dari sistem pendidikan, media, pergaulan, hingga kebijakan publik. Negara membiarkan sistem sekuler berjalan, tapi berharap hasilnya berupa generasi beradab, sebuah kontradiksi yang mustahil.
Islam menawarkan kerangka solusi yang sama sekali berbeda. Dalam Islam, pembentukan generasi dimulai dari aqidah, bukan dari filter digital. Yang membentuk perilaku manusia bukan algoritma, tetapi keyakinan yang mengakar kuat. Karena itu, negara dalam Islam wajib membangun sistem pendidikan yang menanamkan keimanan sejak dini, mengajarkan syariah sebagai standar perbuatan, dan menumbuhkan pola pikir ilmiah yang membuat anak tidak mudah hanyut oleh tren.
Lebih dari itu, Islam tidak berhenti pada pendidikan. Seluruh sistem kehidupan harus tunduk pada syariah, media, ekonomi, sosial, hingga tata sanksi. Dengan demikian, lingkungan yang terbentuk adalah lingkungan yang mendukung kebaikan, bukan merangsang kerusakan seperti sistem sekuler saat ini.
Seorang ulama pernah mengingatkan: “Kerusakan besar tidak muncul dari alat, tetapi dari manusia yang kehilangan pedoman.” Dan pedoman itu tidak akan pernah tumbuh dalam sistem yang meminggirkan Allah dari urusan publik.
Karena itu, jika negara benar-benar ingin melindungi generasi, langkah pertama bukanlah memblokir aplikasi, tetapi mengakhiri penerapan sistem yang merusak akal, jiwa, dan moral anak-anak bangsa. Solusi parsial seperti PP Tunas hanya menunda krisis, bukan mengakhirinya.
Hari ini, kita membutuhkan keberanian politik untuk kembali pada nilai-nilai Islam yang menawarkan solusi menyeluruh. Dibutuhkan masyarakat yang sadar, orang tua yang peduli, serta generasi muda yang mau memperjuangkan perubahan sistemik. Tanpa itu, kebijakan apa pun, seketat apa pun, akan menjadi seperti payung bocor di tengah badai moral yang terus menggulung.
Dan pada titik itu, kita harus jujur berkata: masalah besar tidak pernah terselesaikan dengan keberanian kecil.

0 Komentar