
Oleh: Al Fatih
Pemerhati Sosial
Setiap akhir tahun, isu toleransi beragama kembali mengemuka. Umat Islam kerap dihadapkan pada tuduhan eksklusif, intoleran, bahkan radikal, hanya karena menolak terlibat dalam perayaan agama lain, khususnya Natal. Padahal, jika ditelusuri secara jujur dan ilmiah, Islam justru merupakan agama yang paling jelas dan konsisten dalam mengajarkan toleransi, tanpa harus mengorbankan akidah.
Islam tidak lahir dari ruang hampa. Sejak awal, ia hadir di tengah masyarakat majemuk, dengan perbedaan keyakinan yang nyata. Karena itu, Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ memberikan panduan yang sangat tegas: toleransi dalam urusan sosial, tetapi ketegasan mutlak dalam urusan akidah dan ibadah.
Toleransi yang Tegas Batasnya
Islam tidak pernah mengajarkan permusuhan terhadap pemeluk agama lain. Fakta sejarah membuktikan bahwa umat Islam hidup berdampingan secara damai dengan non-Muslim selama berabad-abad. Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya Muslim, umat Nasrani bebas merayakan Natal tanpa gangguan. Tidak ada larangan, intimidasi, atau pembatasan ibadah. Ini bukan karena tekanan ideologi modern, melainkan karena Islam memang tidak melarang toleransi sosial.
Namun, Islam juga sangat tegas dalam memisahkan urusan ibadah dan keyakinan. Allah ﷻ berfirman:
قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَۙ لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۚ وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
“Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 1–6).
Ayat ini bukan sekadar ajakan hidup damai, tetapi penegasan batas yang tidak boleh dilanggar. Tidak ada tukar-menukar ibadah. Tidak ada kompromi dalam keyakinan. Islam menolak sinkretisme (pencampuran agama) dalam bentuk apa pun.
Karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan mengikuti ritual ibadah agama lain, termasuk perayaan Natal yang berangkat dari keyakinan ketuhanan Yesus. Dalam Islam, Isa عليه السلام adalah nabi dan rasul, bukan Tuhan. Perbedaan ini bersifat prinsipil dan tidak bisa dinegosiasikan atas nama toleransi.
Kerja Sama Sosial Bukan Pluralisme Akidah
Sering kali, batas ini sengaja dikaburkan. Penolakan umat Islam untuk mengikuti perayaan Natal dipelintir seolah-olah bentuk kebencian. Padahal, Islam justru mendorong kerja sama lintas agama dalam urusan duniawi.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur'an surah Al-Hujurat ayat 13 bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa agar saling mengenal. Artinya, interaksi sosial, kerja sama ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kemanusiaan adalah hal yang dibolehkan, bahkan dianjurkan, selama tidak menyentuh akidah dan ibadah.
Rasulullah ﷺ bahkan memberikan perlindungan tegas kepada non-Muslim yang hidup damai di tengah kaum Muslimin:
مَنْ آذَى ذِمِّيًا فَقَدْ آذَانِيْ
“Barang siapa menyakiti seorang zimmi, maka ia telah menyakitiku” (HR. Thabrani).
Hadis ini menegaskan bahwa Islam bukan agama kekerasan. Namun, toleransi sosial ini sama sekali tidak berarti pembenaran terhadap keyakinan agama lain.
Ketika Toleransi Diseret ke Arah Liberalisme
Masalah muncul ketika toleransi dipaksa masuk ke wilayah akidah. Ucapan “Selamat Natal”, kehadiran dalam perayaan Natal, atau simbol-simbol ibadah agama lain mulai dipromosikan sebagai tolok ukur toleransi. Inilah titik di mana toleransi berubah menjadi toleransi kebablasan.
Islam menegaskan bahwa ibadah hanya ditujukan kepada Allah ﷻ:
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5).
Mengucapkan atau menghadiri perayaan yang mengandung pengakuan terhadap konsep ketuhanan selain Allah berarti masuk ke wilayah pengakuan ibadah, meski dibungkus dengan niat “sosial”. Karena itu, Majelis Ulama Indonesia telah menegaskan keharaman menghadiri perayaan Natal bersama umat Nasrani.
Buya Hamka dengan tegas menyatakan bahwa toleransi tidak boleh mengorbankan akidah. Sikap ini bukan bentuk kebencian, melainkan keteguhan iman.
Islam Bukan Agama Relatif
Islam tidak mengenal konsep bahwa semua agama sama. Allah ﷻ menegaskan:
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam” (QS. Ali Imran: 19).
Pluralisme agama yang menyatakan semua agama benar adalah pandangan yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Mengakui kebenaran Islam tidak berarti memusuhi pemeluk agama lain, tetapi menegaskan identitas iman.
Penutup
Toleransi sejati dalam Islam bukanlah mencairkan keyakinan, melainkan menjaga akidah sambil tetap berlaku adil dan berbuat baik kepada sesama manusia. Islam mengajarkan hidup damai tanpa harus kehilangan prinsip.
Di tengah arus liberalisme yang terus menekan umat Islam agar berkompromi dengan akidah, sikap tegas justru menjadi bentuk tanggung jawab iman. Akidah bukan simbol sosial yang bisa dinegosiasikan, melainkan fondasi keselamatan dunia dan akhirat.
Menjaga toleransi itu wajib. Menjaga tauhid, lebih wajib lagi.

0 Komentar