
Oleh: Al-Fatih
Pembebas Pemikiran
Keimanan dalam Islam bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja, melainkan melalui proses pemikiran yang mendalam dan refleksi terhadap alam semesta, manusia, dan kehidupan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al Ghasyiyah ayat 17-20:
اَفَلَا يَنْظُرُوْنَ اِلَى الْاِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْۗ
17. Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan?
وَاِلَى السَّمَاۤءِ كَيْفَ رُفِعَتْۗ
18. dan langit, bagaimana ditinggikan?
وَاِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْۗ
19. Dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan?
وَاِلَى الْاَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْۗ
20. Dan bumi bagaimana dihamparkan?
Ayat ini mengajak manusia untuk merenungkan penciptaan yang ada di sekitar mereka sebagai bukti keberadaan Sang Pencipta.
Uqdatul Kubro: Pertanyaan Mendasar dalam Kehidupan
Setiap manusia pada titik tertentu dalam kehidupannya mulai merenungkan asal-usul dan tujuan hidupnya. Pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti "Dari manakah manusia dan kehidupan ini?", "Untuk apa manusia dan kehidupan ini ada?", dan "Ke mana manusia dan kehidupan ini akan berakhir?" menjadi pusat pemikiran yang dikenal sebagai Uqdatul Kubro (masalah besar).
Dalam mencari jawaban, manusia biasanya mengandalkan akal dan indera mereka untuk meneliti tiga aspek utama: alam semesta (al kaun), manusia (al insan), dan kehidupan (al hayaah). Islam memberikan jawaban yang jelas melalui proses pemikiran yang rasional, komprehensif, dan selaras dengan fitrah manusia.
1. Proses Keimanan terhadap Al Kholiq (Sang Pencipta)
Islam mengajarkan bahwa di balik segala sesuatu yang ada di alam semesta ini terdapat Sang Pencipta, yang bersifat wajibul wujud (pasti adanya). Ada tiga kemungkinan dalam menentukan sifat Sang Pencipta:
- Pertama, Sang Pencipta diciptakan oleh sesuatu yang lain.
- Kedua, Sang Pencipta menciptakan diri-Nya sendiri.
- Ketiga, Sang Pencipta bersifat azali, wajibul wujud, dan mutlak keberadaannya.
Islam menegaskan bahwa hanya kemungkinan ketiga yang benar. Dalam Al-Qur'an surat Al Ghasyiyah: 17-20, Allah mengajak manusia untuk memperhatikan alam sekitarnya sebagai bukti adanya Pencipta.
2. Sifat Fithri Keimanan
Keimanan kepada Yang Maha Mengatur adalah sesuatu yang fitri dalam diri setiap manusia. Meskipun demikian, Islam tidak membiarkan perasaan hati semata-mata menjadi dasar keimanan. Islam menegaskan pentingnya penggunaan akal dalam proses beriman. Allah ﷻ berfirman dalam surat Ali Imran ayat 190:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,
Akal yang dipadu dengan hati akan membawa manusia kepada keimanan yang benar dan kokoh, jauh dari taklid buta atau mengikuti keyakinan tanpa dasar yang jelas.
3. Proses Keimanan terhadap Rasul
Dalam Islam, aturan yang mengatur kehidupan manusia tidak boleh berasal dari manusia itu sendiri, karena manusia cenderung melakukan kesalahan, perselisihan, dan terpengaruh oleh lingkungannya. Aturan tersebut harus datang dari Allah ﷻ dan disampaikan melalui para rasul. Rasulullah ﷺ sebagai utusan Allah membawa risalah yang sempurna dan menjadi contoh bagi umat manusia.
4. Proses Keimanan terhadap Al-Qur’an sebagai Kalamullah
Al-Qur'an, sebagai kalam Allah, dapat dibuktikan kebenarannya dengan tiga kemungkinan:
- Pertama, Al-Qur'an merupakan karangan bangsa Arab. Kemungkinan ini tidak benar karena Al-Qur'an menantang bangsa Arab untuk membuat karya yang serupa, namun mereka tidak mampu.
- Kedua, Al-Qur'an adalah karangan Nabi Muhammad ﷺ. Ini juga salah, karena gaya bahasa Al-Qur'an berbeda dengan hadits yang disampaikan oleh Nabi.
- Ketiga, Al-Qur'an berasal dari Allah semata. Kemungkinan inilah yang benar dan diterima oleh umat Islam sebagai kebenaran mutlak.
Konsekuensi Iman kepada Allah ﷻ, Rasulullah ﷺ, dan Al-Qur'an
Iman kepada Allah mengharuskan kita menerima segala sesuatu yang diberitakan oleh-Nya, baik yang dapat dijangkau oleh akal maupun tidak. Ini termasuk keimanan kepada hari kebangkitan, surga dan neraka, hisab dan siksa, serta adanya malaikat, jin, dan setan. Aqidah seorang Muslim harus bersandar pada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti dasarnya oleh akal.
Kita juga diwajibkan untuk beriman kepada kehidupan sebelum dunia, yaitu adanya Allah dan proses penciptaan oleh-Nya, serta beriman kepada kehidupan setelah dunia, yaitu hari akhirat. Manusia harus hidup sesuai dengan aturan Allah dan yakin bahwa setiap perbuatannya akan dihisab pada hari kiamat. Aqidah Islam menjadi dasar bagi segala hal dalam Islam, baik secara fikroh (ide dasar) maupun thoriqoh (pola operasional).
Kebangkitan Manusia: Landasan Kehidupan yang Benar
Kebangkitan manusia bergantung pada landasan kehidupannya, yang merupakan jawaban atas pertanyaan mendasar tentang asal-usul dan tujuan hidup. Perubahan aqidah hanya bisa terjadi melalui pemikiran yang benar dan jernih tentang aqidah yang shahih. Islam telah menyelesaikan Uqdatul Kubro dengan pemecahan yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal, dan menenangkan jiwa.
Oleh karena itu, Islam dibangun di atas aqidah yang menyatakan bahwa di balik alam semesta, manusia, dan kehidupan, terdapat Sang Pencipta (Al Khaliq) yang menciptakan segalanya. Pemahaman yang benar tentang aqidah ini akan membawa manusia kepada kebangkitan yang sejati dan kehidupan yang penuh makna.
0 Komentar