TAKDIR QADHA DAN QADAR


Oleh: Al-Fatih
Pembebas Pemikiran

Keyakinan kepada Takdir dalam Al-Qur'an diterangkan pada surat Ar Ra’du ayat 11:

لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ 
11. Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.


Kewajiban Beriman kepada Takdir

Iman kepada takdir merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, karena didukung oleh nash-nash Al-Qur'an yang qath'i (pasti) dan dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ dalam sunnahnya. Berbeda dengan iman kepada qadha dan qadar, istilah tersebut tidak secara langsung disebutkan dalam Al-Qur'an atau As-Sunnah. Istilah qadha dan qadar adalah konsep yang lahir dari upaya memahami bagaimana takdir Allah ﷻ berhubungan dengan kehidupan manusia.


Pengertian Takdir dan Iman Terhadapnya

Takdir adalah catatan lengkap dalam ilmu Allah ﷻ tentang segala sesuatu yang ada di alam semesta, termasuk benda-benda, manusia, amal perbuatan, dan seluruh makhluk. Segala sesuatu telah diketahui dan dicatat oleh Allah ﷻ di Lauhul Mahfuzh. Iman kepada takdir adalah bagian dari rukun iman, dan seorang Muslim yang tidak percaya kepada takdir dianggap memiliki iman yang cacat, bahkan bisa keluar dari Islam.

Takdir adalah pengetahuan Allah yang tidak memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu, baik itu baik atau buruk. Penting bagi seorang Muslim untuk memahami bahwa takdir adalah pemberitahuan tentang ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Dengan pemahaman yang benar tentang takdir, seorang mukmin tidak akan merasa lemah atau putus asa.


Sejarah Munculnya Istilah Qadha dan Qadar

Pada akhir abad kedua Hijriyah, muncul banyak pemikiran baru di kalangan umat Islam, termasuk upaya menerjemahkan filsafat Yunani. Kaum Muslimin mulai mempelajari filsafat Yunani untuk menjawab berbagai tantangan yang dilontarkan oleh kaum Nasrani, terutama mengenai kebebasan bertindak (free will). Hal ini melahirkan beberapa pandangan yang berkembang di kalangan umat Islam terkait qadha dan qadar:


1. Faham Qadariyah (Mu'tazilah)

Faham ini pertama kali dikembangkan oleh Washil bin Atha’. Golongan Qadariyah berpendapat bahwa manusia bebas berkehendak dan memiliki kemampuan untuk berusaha sendiri. Mereka menolak gagasan bahwa segala sesuatu diatur sesuai dengan takdir (al-Qadar) atau ketetapan Allah ﷻ. Mu'tazilah percaya bahwa manusia memiliki kehendak (iradah), kekuatan, kekuasaan (qudrat), dan kebebasan (hurriyah) untuk berbuat atau tidak berbuat, terlepas dari kehendak Allah ﷻ.


2. Faham Jabariyah

Faham ini dipelopori oleh Jahmu bin Sofyan, yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kekuasaan untuk memilih. Menurut pandangan ini, manusia melakukan segala sesuatu sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ. Jabariyah berkeyakinan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan berkehendak (hurriyat al-iradah) dan tidak memiliki kekuasaan untuk melakukan sesuatu.


3. Faham Asy'ariyah (Ahlussunnah)

Kemunculan dua faham di atas mendorong kalangan Ahlussunnah, seperti Abul Hasan Al-Asy'ari dan Mansur Al-Maturidi, untuk membela aqidah Islam agar tidak tersesat oleh faham Mu'tazilah (Qadariyah) maupun Jabariyah. Asy'ariyah berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak untuk berbuat, namun setiap perbuatan terjadi atas izin Allah ﷻ. Faham ini mengaitkan sifat Maha Adil Allah dengan dosa dan pahala, serta siksaan dan kenikmatan yang akan diberikan di akhirat.


Dasar Pembahasan Qadha dan Qadar

Pembahasan tentang qadha dan qadar berpusat pada pertanyaan: "Apakah manusia dipaksa untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan (baik atau buruk), ataukah ia diberi kebebasan memilih?" Perdebatan ini menyangkut perbuatan manusia, yang merupakan sesuatu yang bisa diindera dan dirasakan, sehingga dalil-dalilnya bersifat aqli.


Hakikat Perbuatan Manusia dan Kejadian yang Menimpa

Manusia hidup dan beraktivitas dalam dua jenis perbuatan:


1. Perbuatan yang Berada di Bawah Kontrol Manusia

Ini adalah perbuatan yang timbul karena pilihan dan keinginan manusia sendiri. Dalam hal ini, manusia bebas memilih dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.


2. Perbuatan yang Berada di Luar Kontrol Manusia

Ini mencakup kejadian-kejadian yang menimpa manusia di luar kemampuannya untuk memilih. Dalam hal ini, manusia dipaksa menerima kejadian yang datang dari Allah ﷻ, dan perbuatan tersebut dikenal sebagai qadha (keputusan) Allah.

Manusia diwajibkan untuk beriman akan adanya qadha, dan bahwa qadha tersebut datang dari Allah ﷻ, bukan dari yang lain.


Memahami Makna Qadar

Qadar adalah penetapan batasan atau kadar yang telah ditentukan oleh Allah ﷻ bagi setiap makhluk. Allah menciptakan benda-benda beserta khasiat atau karakteristik tertentu yang tidak bisa dilanggar. Semua khasiat ini, baik yang ada pada benda-benda maupun yang ada pada manusia adalah qadar yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ.


Amal Manusia yang Akan Dihisab

Manusia akan dihisab atas perbuatan-perbuatan yang berada di bawah kontrolnya. Jika manusia memenuhi panggilan gharizah (naluri) dan kebutuhan jasmani sesuai dengan perintah dan larangan Allah ﷻ, maka ia telah melakukan kebaikan dan berjalan di atas jalan taqwa. Namun, jika ia berpaling dari perintah Allah, maka ia telah melakukan perbuatan buruk dan berjalan di atas jalan kejahatan. Pahala dan dosa akan diberikan tergantung pada perbuatan yang dilakukan manusia secara sukarela tanpa paksaan.

Akal manusia dijadikan sandaran untuk menentukan pilihan dalam menjalani perintah dan larangan Allah. Dengan demikian, Allah memberikan pahala bagi amal yang baik karena akal telah memilih untuk menjalani perintah-Nya, dan memberikan siksaan bagi perbuatan jahat karena akal telah memilih untuk melanggarnya. Allah ﷻ berfirman dalam surat Al-Muddatsir ayat 38:

كُلُّ نَفْسٍۢ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌۙ
38. Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.


Posting Komentar

0 Komentar