
Oleh: Al-Fatih
Pembebas Pemikiran
Aqidah Islamiyah adalah dasar iman yang mencakup keyakinan kepada Allah ﷻ, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat, serta takdir baik dan buruk yang berasal dari Allah. Dalam Islam, iman tidak hanya sekadar percaya, tetapi merupakan pembenaran yang pasti (tashdiiqul jazm) yang didasarkan pada dalil yang jelas, baik itu melalui akal maupun wahyu.
Pentingnya Dalil dalam Keimanan
Keimanan dalam Islam haruslah berdasar pada dalil yang kuat, bukan sekadar keyakinan buta. Dalil ini bisa bersifat 'aqli (logis) yang dapat diindra atau naqli (berdasarkan wahyu) yang berada di luar jangkauan panca indera. Dengan adanya dalil, iman menjadi kokoh dan tidak tergoyahkan. Imam Syafi’i menegaskan pentingnya berpikir dan mencari dalil untuk mengenal Allah, sebagai kewajiban pertama bagi setiap mukallaf (orang yang dibebani hukum).
Peran Akal dalam Keimanan
Akal memiliki peran penting dalam masalah keimanan. Meski terbatas, akal mampu menunjukkan bukti keberadaan sesuatu yang tak terlihat, seperti halnya seorang Badui yang mengenali adanya onta dari jejak kaki atau tahi onta. Dalam konteks keimanan, Al-Qur'an seringkali mengajak manusia untuk memperhatikan ciptaan Allah sebagai bukti keberadaan-Nya. Allah ﷻ berfirman dalam surat Al Jaatsiyah ayat 3-4:
اِنَّ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۗ
3. Sungguh, pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang mukmin.
وَفِيْ خَلْقِكُمْ وَمَا يَبُثُّ مِنْ دَاۤبَّةٍ اٰيٰتٌ لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَۙ
4. Dan pada penciptaan dirimu dan pada makhluk bergerak yang bernyawa yang bertebaran (di bumi) terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) untuk kaum yang meyakini.
Namun, Islam juga mengingatkan bahwa akal manusia tidak mampu menjangkau dzat Allah. Oleh karena itu, manusia dilarang untuk memikirkan dzat Allah secara langsung, karena hal tersebut berada di luar kemampuan akal dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, seperti menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu pikirkan tentang Dzat Allah. Sebab, kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya." (HR Abu Nu’im)
Kesepakatan Ulama dalam Masalah Aqidah
Para sahabat Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah berselisih pendapat dalam hal aqidah, khususnya terkait asma, sifat, dan perbuatan Allah. Mereka menerima apa yang disampaikan oleh Al-Qur'an tanpa melakukan ta’wil (penafsiran yang jauh dari makna zahir) atau mengubah pengertiannya. Sebagai contoh, ketika Imam Malik ditanya tentang makna persemayaman Allah (istiwaa’), beliau menegaskan bahwa hal tersebut bukan sesuatu yang dapat dipahami oleh akal manusia, tetapi mengimaninya adalah kewajiban.
Dalil Naqli dalam Aqidah Haruslah Mutawatir
Dalam hal aqidah, dalil-dalil naqli (berdasarkan wahyu) haruslah qath’i (pasti) dan mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak mungkin berbohong). Al-Qur'an adalah sumber utama dalil-dalil tersebut yang disampaikan secara mutawatir. Hadits yang digunakan dalam aqidah juga harus memenuhi syarat mutawatir, yaitu diriwayatkan oleh banyak perawi di setiap tingkatan generasi, sehingga tidak mungkin terjadi kebohongan.
Penutup
Aqidah Islamiyah adalah fondasi utama dalam keimanan seorang Muslim. Keimanan ini harus dibangun di atas dalil yang kuat, baik dari sisi logika maupun wahyu. Peran akal sangat penting dalam memahami dan menguatkan keimanan, namun akal memiliki keterbatasan dalam menjangkau hakikat dzat Allah. Oleh karena itu, dalam memahami aqidah, kita harus selalu merujuk kepada dalil yang pasti dan menghindari spekulasi yang tidak berdasar. Aqidah yang kokoh akan membawa seorang Muslim kepada keyakinan yang benar dan tindakan yang lurus dalam kehidupan sehari-hari.
0 Komentar